TRIBUNNEWS.COM, PARIS - Jika saja Rafael Nadal warga Prancis, bukan tak mungkin kompleks tenis Roland Garros akan berganti dengan namanya karena tercatat sebagai Grand Slam yang menebar sejarah dan cerita yang bisa menjadi identitas baru turnamen dan sudah bergulir sejak 1891 itu.
Salah satunya dan terbesar sudah pasti keberhasilan Nadal mengangkat lagi La Coupe des Mousquetaires untuk kali ke-10.
Kesuksesan yang sulit dilakukan siapa pun itu terjadi Minggu (11/6/2017) saat ia mengalahkan Stan Wawrinka di final dengan skor 6–2, 6–3, 6–1. Sebuah final yang tak mudah bagi sang maestro, yang tahun ini menginjak usia 31 tahun.
Bagi Nadal, trofi ke-10 ini sekaligus sebuah pengesahan akan gaya bermain yang brilian dan hebat serta sulit ditaklukkan di lapangan tanah liat.
Pada 2015, dia gagal karena kehilangan rasa percaya diri. Pada 2016, dia mundur pada babak ketiga karena mengalami cedera.
Siapa pun tahu, forehand merupakan senjata utama Nadal. Ia bisa memaksimalkan forehand sebagai senjata mematikan di lapangan tanah liat karena dpunya kemampuan teknis untuk memukul forehand dengan spin yang dalam dan kuat.
Saat bola hasil pukulan Nadal mendarat di lapangan jenis itu akan sulit untuk dikembalikan atau dikejar karena meluncur terlalu deras.
"Anda butuh situasi dan kombinasi yang tepat untuk memenangi 10 gelar Prancis Terbuka. Meski semua orang bilang saya cocok dengan lapangan ini, saya tidak pernah berpikir bisa menjuarai sebanyak itu. Bangga bahwa saya yang melakukannya," ucap Nadal.
Juara tunggal putri Prancis Terbuka 2017, petenis putri Latvia, Jelena Ostapenko, berpose di depan patung Suzanne Lenglen di Roland Garros, Paris, (11/6/2017), sambil memegang trofi juara.
Sejarah lain tentu saja kesuksesan cewek belia berusia 20 tahun, Jelena Ostapenko, yang menjuarai tunggal putri.
Petenis non-unggulan ini menundukkan unggulan ketiga asal Rumania, Simona Halep, dengan skor 4-6, 6-4, 6-3, Sabtu (10/6/2017).
Sejumlah catatan spesial pun ditorehkan Ostapenko yang meraih gelar pertama WTA pada Prancis Terbuka ini.
Mulai dari petenis Latvia pertama yang memenangi gelar Grand Slam.
Dia menjadi petenis termuda yang meraih gelar juara Grand Slam dalam usia 20 tahun dua hari setelah Svetlana Kuznetsova, yang menjuarai AS Terbuka 2004 (19 tahun 76 hari).
Ostapenko juga menjadi petenis non-unggulan pertama yang mengangkat trofi Suzanne Lenglen setelah Margaret Scriven pada 1933.