TRIBUNNEWS.COM, BOGOR - Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) cabang olahraga dirgantara Paralayang, yang untuk pertama kalinya dilombakan di Asian Games, semakin mematangkan persiapannya.
Bruce Goldsmith, Juara Dunia Lintas Alam Paralayang 2007, hadir di Gunung Mas, Puncak, Jawa Barat sejak 1-7 juni lalu. Ia melatih 18 pilot/atlet anggota Pelatnas yang disiapkan untuk Asian Games XVIII 2018, Agustus ini.
Didahului kelas teori setiap pagi, pria asal Inggris itu ikut terbang bersama 10 putra dan 8 putri penerbang handal Indonesia, sekitar Cianjur dan Puncak.
“Cuaca memang mudah berubah di Puncak. Tapi lumayan, kita pernah terbang sejauh 25 kilometer. Mereka sudah bagus tekniknya, hanya kurang efisien terbangnya,” ungkap produsen parasut merek BGD itu pada Tagor Siagian, Humas PB FASI (Pengurus Besar Federasi Aero Sport Indonesia).
Maksud mantan juara nasional Inggris itu, dalam nomor lintas alam (XC/Cross Country), pilot tak boleh membuat banyak gerakan yang tidak perlu saat terbang.
“Akibatnya parasut bisa hilang ketinggian dan terpaksa mendarat, padahal seluruh soal belum dikerjakan dan gagal mencapai garis finish. Dalam lomba lintas alam, itu jelas akan merugikan pilot,” jelasnya.
Bagaimana peluang para pilot Merah Putih menjadi juara umum cabang Paralayang AG ’18 menurut mantan juara dunia olahraga udara Gantolle (Layang Gantung) era ‘90an itu?
“Sebagai tuanrumah, mereka wajib memaksimalkan penguasaan medan. Mereka harus lebih cerdik membaca tanda-tanda alam. Atlit jangan dibebani sasaran pencapaian medali emas. Biarkan mereka menikmati terbang,” serunya.
Yang dimaksud Bruce dengan membaca tanda-tanda alam adalah saat terbang, jeli melihat arah gerakan pohon, daun jatuh atau riak air sungai.
“Pilot yang baik harus bisa antisipasi perubahan arah angin secepat mungkin. Karena dalam Race To Goal, sepersekian detik sangat menetukan,” tegasnya.
Kagum dengan kinerja para pilot muda Pelatnas usia 20’an, Bruce mengingatkan pentingnya pemerintah Indonesia, pihak Kemneterian Pariwisata serta Kementerian Pemuda dan Olahraga yang didukung penuh media, mengembangkan dan mempromosikan lokasi-lokasi baru untuk olahraga dirgantara dan wisata olahraga udara.
Demi regenerasi atlit dan mengurangi tingkat kejahatan dikalangan anak muda.
“Anak- anak sekarang kebanyakan main gawai. Itu berbahaya untuk kesehatan. Mereka harus dikembalikan ke alam. Alam Indonesia sangat luarbiasa, cintailah alam negeri Anda!” tuturnya.
Dalam nomor Race To Goal (Lintas Alam Terbatas), setiap ronde para pilot akan diberikan soal berbeda. Mereka harus terbang di atas beberapa titik dalam waktu tercepat.
Biasanya rutenya berbentuk segitiga, sesuai kondisi cuaca dan angin. Setiap hari, pilot hanya terbang satu ronde., mengingat waktu tempuh bisa mencapai 3-5 jam.
Perangkat GPS (Global Positioning System) yang wajib dibawa setiap pilot, yang merekam jejak penerbangan, lalu diserahkan ke bagian kamar hitung untuk diunggah dan dibuat perhitungan nilai. Jumlah nilai tertinggi selama seluruh ronde yang menentukan juara.
Saat Piala Asia Lintas Alam II tahun lalu di Puncak, sebagai ujicoba AG ’18, pilot mendapat soal terbang rute Puncak-Cianjur-Lido-Sentul-Puncak yang berjarak garis lurus sekitar 70 km. Jarak tempuh dalam soal berkisar 8,3 hingga 11,7 kilometer setiap ronde.
Mengarah ke radius 17 km sekitar kawasan Danau Lido, Sukabumi, lalu radius 22 km di kawasan Sentul dan kembali ke kawasan perkebunan teh di Cisarua.
Parasut memadai dengan teknologi terkini, sangat mempengaruhi kemampuan pilot bermanuver untuk menambah kecepatan dan menjelajahi termal (udara panas yang bersumber dari awan). Keberhasilan mendapat termal sangat diperlukan guna mampu terbang tinggi dan sejauh mungkin demi mencapai seluruh titik dalam soal.
Kegagalan pilot Indonesia meraih medali emas di Piala Asia II lebih disebabkan jenis parasut yang tertinggal jauh dengan pilot Korea Selatan, Jepang dan Cina.
Bila tiga pesaing kuat Indonesia di nomor lintas alam itu memakai parasut produksi terbaru tahun lalu, para pilot Pelatnas masih memakai produksi 2014. Korea Selatan menyapu bersih medali emas seluruh kelas; Putri, Putra dan Beregu di Piala Asia II.
Menurut Wakil Sekjen II PB FASI, Kol. Pnb. Agung Sasongkojati, pihaknya sudah menerima dan menyerahkan pada Pelatnas, 18 buah parasut yang dibeli dari luar negeri Rabu lalu (6/6). Mereknya berbeda, sesuai dengan permintaan tiap pilot.
Hening “Digma” Paradigma, pilot putra pemegang rekor nasional lintas alam jarak terbuka (Open Distance XC) sejauh 109 km dari Wonogiri ke Pati, Jawa Tengah pada 2012, merasakan perubahan sangat berarti dalam teknik terbangnya setelah diasah Bruce.
“Tadinya aku ragu-ragu terbang kencang, maksimal 70 kilometer per jam. Bruce malah suruh saya tancap gas, 100 kilo juga ngga masalah. Yang penting terbang dengan cerdas, tahu kapan harus kencang dan siap mengurangi kecepatan bila harus berbelok dan berputar,” paparnya.
Digma juga merasa tambah percaya diri menghadapi AG ’18 berbekal kiat-kiat terbang dari Bruce, seperti bagaimana keluar tanpa panik bila tersedot awan.
Ujian terakhir setelah penentuan 12 pilot (5 putri dan 7 putra) Tim Nasional (Timnas) sesuai batas waktu pendaftaran atlit peserta AG ’18 berdasarkan nama (Entry By Name) pada 30 Juni, adalah di ajang Seri III Piala Dunia Ketepatan Mendarat Paralayang (PGAWC/Para Gliding Accuracy World Cup) 2018 di Gunung Banyak, Batu, Malang, Jawa Timur, 13-15 Juli.
Diperkirakan para calon peserta AG ’18 akan ramai- ramai hadir menjajal kemampuan bakal lawan mereka. Pada Seri PGAWC 2017, Indonesia memborong gelar Juara Dunia di ketiga kelas; Umum, Putri dan Beregu. Rika Wijayanti, asal Batu, Jawa Timur berhasil mengembalikan pamor pilot putri Merah Putih yang sempat sangat disegani.
Ia meneruskan jejak trio srikandi Ifa Kurniawati, Milawati Sirin dan Lis Andriana yang berturut-turut menjadi juara dunia pada 2010-2014.
Lis, asal Kutai, Kalimantan Timur bahkan mencetak hattrick, menjadi juara dunia pada 2012- 2014.
Namun, para pilot Pelatnas tak boleh jemawa, puas dan sombong dengan pencapainnya tahun silam.
Harus diingat, Thailand, pesaing kuat di nomor Ketepatan Mendarat/KTM tidak mengikuti Seri PGAWC 2017. Pada Kejuaraan Dunia Ketepatan Mendarat Antar Negara (WPAC) 2015 di Puncak, Jawa Barat, Thailand memborong dua emas; di Kelas Beregu dan Kelas Putri atas nama pilot seniornya Nunnapat “Bebbie” Phuchong. Dede Supratman berhasil menyelamatkan wajah tuanrumah dengan merebut empat juara Kelas Umum. Sedang di Kelas Beregu Indonesia meraih perunggu.
Dicurigai menyimpan kekuatan agar tidak diketahui lawan, ketika ditanya kenapa pilot Thailand absen dari Seri PGAWC 2017, sambil tertawa Bebbie berujar, “Tidak ada biaya.”
Karena lebih bersifat kejuaraan perorangan, peserta Seri PGAWC memakai dana pribadi atau mencari sponsor. Sedangkan Pelatnas dibiayai Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) karena termasuk persiapan AG ’18.
Seri PGAWC memakai format seperti balapan Formula 1, berpindah ke beberapa negara. Tahun ini terdapat 6 seri sampai pertengahan Desember; Turki, Kazakhstan, Indonesia, Kanada, Nepal dan Albania.
Hingga Seri II, pencapaian tertinggi pilot Pelatnas adalah Ike Ayu Wulandari diperingkat pertama Kelas Putri, disusul Eka Nesti Wulansari sebagai runner up. Sedangkan di Kelas Umum (gabungan nilai seluruh pilot putri dan putra), Jafro Megawanto masih di peringkat ketiga.
Cabang Paralayang AG ’18 akan berlangsung 18-31 Agustus di Gunung Mas, Puncak, Jawa Barat, diikuti sekitar 120 pilot asal 16 negara. Memperebutkan 6 medali emas dari nomor-nomor Ketepatan Mendarat/KTM Perorangan Putri dan Putra, KTM Beregu Putri dan Putra serta XC Beregu Putri dan Putra.
Pesaing tuan rumah Indonesia dalam nomor XC adalah Jepang dan Korea Selatan. Sedangkan di nomor KTM; Thailand dan Korea Selatan.
Pelatnas Paralayang Indonesia untuk Asian Games XVIII 2018:
Putri:
1. Eka Nesti Wulansari (Jawa Tengah, 24 tahun)
2. Ike Ayu Wulandari (Jawa Timur, 22)
3. Rika Wijayanti (Jawa Timur, 23)
4. Lis Andriana (Kalimantan Timur, 34)
5. Dr. Milawati Sirin (Jawa Barat, 47)
6. Nofrica Yanti (Sumatera Barat, 33)
7. Rina Kusumaningrum (Sumatera Barat, 30)
8. Tini Pertiwi (Jawa Tengah, 23)
Putra:
1. Aris Afriansyah (Banten, 23)
2. Hening Paradigma (Jawa Tengah, 31)
3. Dr. Elisa Manueke (Jawa Tengah, 56)
4. Ardi Kurniawan (Jawa Timur, 28)
5. Thomas Widyananto (Jawa Tengah, 40)
6. Roni Pratama (Jawa Timur, 21)
7. Joni Efendi (Jawa Timur, 27)
8. Jafro Megawanto (Jawa Timur, 21)
9. Reza Christiyanto, S.Pi (Jawa Timur, 33)
10. Indra Lesmana (DKI Jaya, 22)