TRIBUNNEWS.COM, SUKOHARJO - Laura Aurelia Dinda Sekar Devanti harus menerima kenyataan duduk di kursi roda akibat cedera di tulang punggungnya pada 2015 lalu.
Tragedi itu menyebabkan ia mengalami masalah koordinasi dari pinggang ke bawah.
Padahal sebelum terjatuh di kamar mandi, kedua kaki Laura masih berfungsi dengan normal.
"Saya patah tulang belakang karena jatuh di kamar mandi. Jadi saya mengalami penurunan kedua fungsi kaki," kata Laura saat ditemui Tribun-Video.com di Kolam Renang Tirta Bhirawa Yudha KOPASSUS, Jumat (14/9/2018).
Baca: Dukung Warga Non-Muslim ke Prabowo-Sandi Turun Usai Ijtima Ulama 2
Padahal di kejuaraan itu, dia sedang menjadi perenang yang mewakili Provinsi Kalimantan Timur dalam Pekan Olah Raga Pelajar Daerah (POPDA) 2015.
Saat itu ia sedang duduk di kelas 2 SMA.
"Saya sempat mengalami depresi kurang lebih satu tahun ya. Karena dulu kan saya atlet jadi kemana-mana bisa lari, dan tiba-tiba enggak bisa jalan dan enggak bisa ngapa-ngapain.
Hanya dengan dukungan keluarga dan teman-teman, Puji Tuhan bisa bangkit lagi," kata mahasiswi jurusan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Baca: Ridwan Kamil Diminta Turun Tangan Terkait Sungai Bekasi yang Tercemar
Gadis kelahiran Pekanbaru 22 September 1999 ini sudah menjadi atlet renang dari umur 7 tahun.
"Saya berenang dari normal itu dari umur 7 tahun. Kalau kejuaraan yang nasional paling di tingkat provinsi, paling yang nasionalnya sekali dua kali aja, jadi belum pernah ikut sampai yang ke luar negeri gitu," kata Laura.
Pada 2016, semangat hidup Laura kembali setelah ia bergabung di National Paralympic Committee (NPC) atas arahan salah satu pelatihnya.
Alhasil, perenang putri kelas S6 ini menjadi atlet pertama yang menyumbang emas bagi kontingen Indonesia di ajang ASEAN Para Games 2011.
Laura memecahkan rekor ASEAN Para Games di nomor ini, yang sebelumnya dipegang perenang Thailand, Thongbai Chaisawas.
Perjuangan Laura tak lepas dari ibunda tercintanya, Wayan, yang selalu berada di sampingnya.
"Motivasi saya lebih terharu sih melihat mama saya yang berjuang tiap hari sabar nemenin saya. Walau saat saya depresi itu saya marah-marah.
Saya berharap dengan saya bangkit, saya bisa, istilahnya, membayar apa yang orangtua lakukan kepada saya," ungkap Laura. (*)