Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdul Majid
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Perhelatan turnamen bulutangkis Indonesia Open 2019 baru saja berakhir. Di tahun ini, Indonesia hanya mengemas satu gelar dari sektor ganda putra.
Torehan itu didapatkan oleh pasangan nomor satu di dunia, Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo setelah mengalahkan seniornya, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dengan skor 21-19, 21-16, Minggu (21/7/2019).
Meski torehan prestasi kali ini menurun dari tahun sebelumnya yang menyumbangkan dua gelar; ganda putra dan ganda campuran, namun penyelenggaraan Indonesia Open 2019 di Istora Senayan banyak menuai pujian dari para penggemar bulutangkis yang hadir langsung di Istora Senayan.
“Tahun sekarang lebih meriah, lebih ramai. Banyak spot bagus buat foto-foto. Jembatan warna-warni, pokoknya (penyelenggaraan) tahun ini bagus banget. Tapi sayang ganda putra saya yang lolos,” ujar Denti salah seorang penggemar bulutangkis yang hadir di Istora Senayan.
Baca: 5 Fakta Menarik di Final Indonesia Open 2019
Sebelumnya, ketua panitia penyelenggara Indonesia Open 2019 Achmad Budiharto sempat menjelaskan bahwa event kali ini memang sengaja dibuat semenarik mungkin dengan tema full color dan intagramable untuk menarik para pengunjung hadir langsung ke Istora Senayan.
“Seperti kemarin saat kejuaraan di Bandung (Super Liga), di sini ada spot foto yang menyediakan 3D dan 4D. Jadi menungundang orang untuk beraksi melalui istagram,” ujarnya.
Batik di Indonesia Open 2019
Spot foto, food court, aneka games, area bermain anak, serta museum mini sejarah badminton Indonesia telah memanjakan para penggemar bulutangkis Indonesia yang hadir di areaIstora Senayan.
Belum lagi, para penggemar yang hadir di Istora juga dapat kesempatan untuk bertemu dengan pemain idola mereka dalam acara meet and greet yang diadakan tiap harinya.
Baca: Marcus/Kevin “The Minions” Juara Ganda Putra Indonesia Open 2019
Indonesia Open 2019 turut menjadi ajang mempromosikan kekayaan budaya Indonesia. Para ofisial pertandingan terlihat mengenakan baju batik dan blangkon mulai dari laga semifinal dan final.
Para hakim garis mengenakan surjan lurik dan blangkon sedangkan wasit yang memimpin laga hanya mengenakan batik saja tanpa blangkon. Sontak hal itu pun menjadi pusat perhatian para penggemar bulutangkis.
“Awalnya iya (ditentang) tapi sekarang tidak karena batik merupakan pakaian. Lagipula dilihat di televisi wasit jadi terlihat lebih elegan. Jadi sekalian kami promosi wasit juga,” kata Kasubid Hubungan Internasional PP PBSI, Bambang Roedyanto.
Baca: Indonesia Open 2019 Turnamen yang Bagus Banyak Peningkatan kata Head of Event Project BWF
“Selain itu, respons umpire juga mereka tak berkeberatan karena kalau ke sini pasti dapat baik. Mereka senang karena sekalian untuk oleh-oleh, dan ini cuma ada di Indonesia saja. Di All England tidak ada. Kami memang mau mengubah tradisi agar lebih seru,” jelas Bambang Roedyanto.
Roedy, sapaan akrab Bambang Roedyanto mengatakan bahwa pemakaian baju batik untuk perangka pertandingan sempat dilawang oleh federasi bulutangkis dunia (BWF).
Namun, larangan tersebut dikatakannya sudah tak lagi berlaku lantaran batik sudah menjadi pakaian kebesaran Indonesia dan wasit yang mengenakannya terlihat lebih menarik.
“Awalnya iya (ditentang) tapi sekarang tidak karena batik merupakan pakaian. Lagipula dilihat di televisi wasit jadi terlihat lebih elegan. Jadi sekalian kami promosi wasit juga,” ujarnya.