Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdul Majid
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Sekretaris Jenderal PP PBSI, Edi Sukarno turut menanggapi permasalahan match fixing yang melanda atlet bulutangkis Indonesia.
Kasus pengaturan skor itu terjadi pada 2017 dan federasi bulutangkis dunia, BWF memberikan sanksi kepada delapan pebulutangkis yang terlibat pada waktu itu.
Edi Sukarno mengatakan tahu masalah itu dan pemain yang bermain pengaturan skor mendapatkan uang sebesar Rp 400 juta.
“Jadi anak-anak itu disuruh mengalah, taruhan. Ada mafianya memang. Waktu itu permainannya tahun 2017 kalau tidak salah,” kata Edi saat dihubungi wartawan.
“Dan di tahun itu juga bidang keabsahan sudah memanggil yang bersangkutan. Cuma yang datang tiga orang, yang lima lainnya tidak,”
“Dari tiga orang itu terungkaplah bahwa mereka memang disuruh mengalah dan kalau tidak salah mereka itu mengungkapkan dapat uang Rp 400 juta dari yang mengaturnya. Itu cowok semua yang tiga orang itu. Kebetulan waktu bidang keabsahan menginterogasi bertiga itu, saya juga ada, saya dengarkan,” jelasnya.
Sementara itu, sikap PP PBSI setelah mendengar kabar tersebut menegaskan bahwa pemain yang melakukan pengaturan skor 2017 silam bukan lah pemain Pelatnas.
“Bisa dipastikan, delapan pemain yang dihukum BWF tersebut adalah bukan pemain penghuni Pelatnas PBSI di Cipayung, Jakarta Timur,” tegas Kepala Bidang Humas dan Media PP PBSI, Broto Happy dalam keterangan resminya.
Lebih lanjut, ia juga mengatakan PBSI mengutuk perbuatan tercela tersebut yang telah mencederai nilai-nilai luhur olahraga yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap atlet, seperti sportivitas, fair play, respek, jujur, dan adil.