TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jelang perhelatan Kongres PSSI yang akan digelar di Solo, Jawa Tengah, 9 Juli 2011 mendatang, banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan Komite Normalisasi pimpinan Agum Gumelar. Di antaranya adalah menyatukan semua kelompok yang berseberangan sejak awal Kongres Pekanbaru lalu.
"Di sisa waktu ini Agum harus menggelar pertemuan dengan Kelompok 78. Tentu saja, bukan untuk mengakomodasi Toisutta dan Panigoro yang sejak awal memang dilarang maju oleh FIFA, tetapi mencari titik temu dengan kerangka kepentingan sepakbola nasional. Yang penting jangan ada dusta diantara mereka. Tidak ada yang menang,tidak ada yang kalah,"ungkap pemerhati bola dari Pascasarjana Universitas Diponegoro, Ari Junaedi kepada Tribunnews, Sabtu (11/06/2011).
Menurut Ari Junaedi, Agum harus bergerak cepat untuk menyelaraskan Liga Primer Indonesia (LPI) ke dalam agenda resmi PSSI sesuai mandat dari FIFA. Hal ini perlu dituntaskan sebelum dimulainya putaran ke dua LPI dan Liga Super Indonesia.
Dan sebaiknya, semua pihak melepaskan ego masing-masing mengingat kondisi sepakbola kita sudah masuk Unit Gawat Darurat dari sebuah rumah sakit yang bernama FIFA.
"Kita berharap 9 Juli nanti sudah ada nakhoda baru di PSSI agar lolos dari sanksi FIFA. Potensi deadlock harus diantisipasi Komite Normalisasi dari sekarang sehingga jalannya kongres berjalan tepat waktu. Karut-marut persepakbolaan pascalengsernya Nurdin harus kita akhiri segera,"pungkas Ari yang menyabet gelar S3 lewat penelitian tentang pelarian politik 1965 di mancanegara.
Kelompok 78 yang mengaku menguasai mayoritas pemilik suara hingga kini tetap ngotot mengusung duet George Toisutta-Arifin Panigoro sebagai ketua dan wakil ketua umum PSSI mendatang.(*)