TRIBUNNEWS.COM – Seragam loreng, berdiri gagah, berbicara tegas sambil membawa senjata. Begitulah Colly Misrun mengidentikkan seorang prajurit Angkatan Darat atau tentara. Jati diri itu pula yang ia lihat secara kasat mata ada pada diri Ayahanda tercinta, yang memang seorang prajurit.
Dalam kehidupan sehari-hari di keluarga, Colly ditempa menjadi anak yang disiplin dalam mengerjakan segala sesuatunya. Alih-alih memberontak, pria berkulit sawo matang ini justru mengendapkan nilai-nilai tersebut dalam dirinya. Tak heran bila kelak, ia menjadi pesepakbola tangguh di kancah sepakbola Indonesia.
Tanpa disadarinya, cita-cita menjadi tentara sudah membuncah kala duduk di bangku SMP. Keinginan itu pun diutarakannya pada sang Ayah. Di luar dugaan permintaan itu ditolak mentah-mentah.
"Jadi, setelah aku tamat SMP, kubilang sama Ayah keinginanku menjadi tentara. Tapi Ayah melarang, aku heran bahkan terkejut waktu itu. Kupikir dia punya pengalaman traumatik semasa bertugas, tapi tak ada dia ceritakan itu," kenang Asisten pelatih PSMS Medan LI ini saat berbincang kepada Tribun Medan (Tribunnews.com Network).
Eks penyerang Harimau Tapanuli dan PSMS Medan di era perserikatan ini menuturkan, ayahnya kerap ditugaskan ke daerah-daerah konflik. Satu di antaranya ke Timor-Timur, kala konflik disintegrasi dari NKRI mencuat.
Colly tak meradang, ia pun menekuni kegemarannya bermain sepakbola. Harimau Tapanuli yang mengendus bakatnya langsung merekrutnya sebagai pemain inti. Tak dinyana, kesempatan kedua hadir untuk menjadi tentara. Kali ini tawaran datang langsung dari Agum Gumelar, Kasdam Bukit Barisan kala itu.
"Ketika perpisahan di Piala Marahalim terakhir tahun 1995, saya diajak pak Agum untuk memperkuat PSAD (Persatuan Sepakbola Angkatan Darat) dan bermain di Makasar. Kalau saya sambut tawaran itu, dijanjikan untuk langsung mendapat seragam TNI. Tetapi saya tidak bisa menerimanya karena masih terikat kontrak dengan Harimau Tapanuli. Padahal waktu itu, Ibu, istri dan anak udah setuju," kata penyerang PSMS Medan 2002 ini.
Begitupun, ia tak menyesali keputusannya. Apalagi ia pernah mengecap momen manis yakni status sebagai pemain termahal di tahun 2002-2003 di bursa transfer. Saat itu ia pindah dari PSMS Medan ke PSM Makassar.
"Tapi kalau ditanya yang paling berkesan selama menjadi pemain bola ya waktu bela PSMS Medan di tahun 2002. Siapa sih yang nggak bangga bela tim daerah sendiri ditambah lagi waktu itu rasa kekuargaan, loyalitas dan kebersamaan dalam tim itu tinggi," beber pria yang sudah mengantongi lesensi C Kepelatihan ini.
Meskipun demikian, Colly mengaku banyak mendapatkan pengalaman sepak bola ketika memperkuat Harimau Tapanuli, "Aku banyak pengalaman pertandingan internasional di sana. Lagian sepanjang karir ku bermain sepak bola, tidak pernah aku ketemu manajer sepakbola se loyal Jhoni Pardede. Beliau itu kalau membina tim ngak pernah main-main," katanya mengakhiri. (Tribun Medan/cr5)