Laporan Reporter Tribun Jogja, M Nur Huda
TRIBUNNEWS.COM, SLEMAN - Skandal sepakbola gajah yang dipertontonkan PSS Sleman dan PSIS Semarang pada laga perempatfinal Divisi Utama PSSI, benar-benar telah menghancurkan nasib, karier, dan masa depan sejumlah pesepakbola muda penuh bakat.
Tak hanya itu, secara sosial para pemain yang terlibat dipaksa menanggung malu di lingkungannya. Baik di tengah keluarga, kerabat, tetangga, kawan sepermainan. Bahkan beberapa penggawa PSS Sleman mengaku khawatir atas masa depan anak-anaknya.
Kegelisahan, keluh kesah, dan ungkapan sedih itu terangkum dalam serangkaian wawancara Tribun Jogja dengan mereka di sejumlah tempat sepanjang pekan lalu. Orangtua pemain juga ikut nimbrung meratapi nasib dan masa depan anak-anaknya.
Suasana sendu juga terasa di lingkungan keluarga Agus Awank Setiawan di Desa Badran, Kecamatan Kranggan, Kabupaten Temanggung. Saat ditemui Tribun Jogja, Awank tengah duduk di depan rumahnya sembari memandangi burung-burung peliharaannya.
Ibunya, Sulasih (46) dan ayahnya, Achmad, masih sibuk mempersiapkan barang dagangan warung ketupat tahu sederhana yang lokasinya tidak jauh dari rumah. Awank kemudian mengajak ngobrol di teras.
Duduk santai di kursi bambu, sesekali ayah Awank ikut nimbrung ngobrol, sembari menghidangkan sejumlah makanan dan minuman, termasuk ketupat tahu buatannya.
"Ya beginilah gubuknya Awank. Kecil dan jelek," ujar Achmad merendah.
Rumah orangtuanya itu, terbilang sederhana dan tidak jauh berbeda dengan rumah-rumah tetangganya di kampung. Halamannya tidak terlalu luas, karena halaman itu pula menjadi `jalan tikus' untuk para tetangganya.
Awank kemudian menceritakan perjalanan karirnya di olahraga sepak bola. Mulai masih duduk di bangku sekolah dasar, pertandingan antarkampung dengan bayaran Rp 5.000, hingga pengalamannya yang nyaris putus asa memasuki dunia sepakbola profesional.
Ia juga menceritakan perasaannya setelah mencetak gol bunuh diri pada "laga gajah" di Stadion AAU. Ketika ia menceploskan bola ke gawangnya sendiri, bayangan akan sanksi berat sudah membayangi pikirannya.
Karena itu sesudah pertandingan ia langsung pulang ke Temanggung, dan menceritakan kejadian seutuhnya pada keluarga. Dengan harapan para keluarga bisa memahami. Sebab menurutnya, keluarga adalah paling utama dibanding sanksi yang diterima.
"Kan saya perlihatkan videonya, maksudnya dari awalnya kan ngga mungkin membunuh karier sendiri yang itu sebagai sumber penghidupan keluarga. Saya demi Allah nggak ada yang membayar," katanya.(Tribunjogja.com)