TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Pelatih caretaker Persiwa Wamena, Mahmudiana menilai, seluruh klub profesional punya peran penting dalam menyelesaikan konflik sepak bola nasional yang hingga saat ini tidak kunjung selesai.
"Klub punya peran penting dalam menyelesaikan konflik yang ada. Klub bisa menekan pihak pemerintah (Menpora) dengan tidak mau bertanding selain di kompetisi resmi. Klub juga meminta kepada PSSI untuk segera menyelesaikan konflik ini, agar masa depan sepak bola nasional bisa segera terselematkan," kata Mahmudiana kepada Harian Super Ball.
Kalau perlu klub menolak ikut serta dalam turnamen, sebelum surat pembekuan PSSI dicabut oleh pemerintah.
"Pemain, pelatih, dan klub bisa memboikot seluruh kegiatan turnamen yang ada. Sehingga baik pemerintah dan PSSI bisa mengetahui keinginan besar dari para pelaku sepak bola yang sudah begitu menunggu digelarnya kompetisi resmi," ujar Mahmudiana.
Sejumlah turnamen yang telah dilaksanakan terbukti tidak bisa mengangkat sepak bola Indonesia.
"Lihat saja sekarang peringkat Indonesia di FIFA ada di 180. Jauh dibading Timor Leste yang ada di peringkat 170. Ini bukti bahwa konflik sepak bola berpengaruh besar pada prestasi internsional," ucap Mahmudiana.
Mahmudiana meminta kepada semua pihak agar tidak bereuforia dalam sebuah turnamen, karena sehebat apapun sebuah tim di sebuah turnamen tetap tidak bisa membawa tim tampil di AFC Cup atau pertandingan internasional lainnya.
"Untuk menyelesaikan konflik, seharusnya kita mencari jalan keluar untuk mencabut sanksi pembekuan dari pemerintah. Bukannya euforia dalam turnamen, karena target panjang kita adalah memajukan kualitas timnas. Prestasi timnas itu diawali dengan penyelenggaraan kompetisi resmi. Pemain-pemain hebat di dalam turnamen tetap tidak bisa berkembang, karena tidak bisa disalurkan ke Timnas. Jadi turnamen hanya untuk jangka pendek saja," jelas Mahmudiana.
Menurut Mahmudiana, yang perlu dikedepankan adalah nasionalisme bukan mengedepankan nilai-nilai kedaerahan seperti yang terjadi dalam turnamen.
"Sehebat apapun klub atau pemainnya, tetapi kalau timnas-nya tidak bisa bertanding, karena disanksi FIFA, semuanya jadi percuma. Akhirnya yang ada adalah pertandingan tarkam saja dengan tujuannya hanya mengisi kekosongan waktu saja. Apakah kita tidak punya target ke depan, yaitu membentuk timnas demi mengangkat nam bangsa," tutur Mahmudiana.
Mahmudiana tidak antipati dengan turnamen, karena para pelaku sepak bola nasional memang membutuhkan pekerjaan untuk menghidupi keluarganya.
Tetapi sampai kapan, turnamen terus digelar. Seolah-olah kompetisi tidak lagi diperlukan.
"Kalau konflik belum juga selesai. Mana mungkin kompetisi bisa digelar. Padahal prestasi sepakbola bangsa berawal dari digelarnya kompetisi resmi. Ini harus kita pikirkan bersama," imbuh Mahmudiana.