Laporan Wartawan Tribun Jaar, Mega Nugraha Sukarna
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG-Putusan pidana tambahan diberlakukan bagi sejumlah terdakwa kasus korupsi, yakni pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak politik yang diartikan dengan larangan untuk memilih dan hak untuk dipilih di ajang demokrasi.
Sebut saja kasus korupsi elektronik KTP melibatkan Setya Novanto. Dia dituntut jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), selain pidana penjara dan denda, juga tuntutan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.
Tuntutan pidana tambahan untuk Setnov, panggilan akrab Setya Novanto, dikabulkan majelis hakim. Hal serupa dialami mantan Gubernur Sultra, Nur Alam dalam kasus suap konsesi tambang.
Jaksa KPK juga menuntut mantan Bupati Bandung Barat dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.
Namun, pada putusan, majelis hakim menolak tuntutan tersebut dan memilih menjatuhkan pidana penjara dan denda.
Pidana tambahan sendiri memiliki dasar hukum. Pasal 10 KUH Pidana mengatur jenis-jenis hukuman pokok dan tambahan. Hukuman pokok terdiri dari hukuman mati, penjara, kurungan, denda.
Lalu hukuman tambahan yakni pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim.
Baca: Prabowo Sebut Ada Elite Politik Ular Berkepala Dua
Baca: 6 Makanan Indonesia dengan Nama Unik, Ada Nasi Kentut Hingga Ketela Bajingan, Seperti Apa Wujudnya?
Baca: Serikat Buruh Migran Minta Masyarakat Tidak Terbelah Karena Pemilu
Lantas, bisakah pidana tambahan sebagaimana diberlakukan pada koruptor itu diakomodir dalam perkara pengaturan skor yang diungkap Satgas Antimafia Bola? Seperti diketahui, satgas sudah menetapkan 15 tersangka yang terlibat pengaturan skor plus satu tersangka perusakan alat bukti pengaturan skor.
Pidana tambahan bagi mereka, seperti pencabutan hak untuk tidak lagi berkecimpung di dunia sepakbola, dirasa mungkin karena pertama, ada dasar hukum yang mengatur.
Kedua, pidana tambahan bagi mereka yang terlibat pengaturan skor, sekligus memastikan bahwa sistem sepakbola Indonesia tidak diisi lagi oleh orang-orang bermasalah.
Kasipenkum Kejagung, Mukri saat ditanya Tribun soal kemungkinan jaksa menuntut pidana tambahan bagi mereka yang terlibat pengaturan skor, mengatakan, hal itu memungkinkan.
"Namun, kita lihat saja nanti fakta persidangannya seperti apa," ujar Mukri via pesan elektroniknya pada Tribun, Jumat (29/3).
Pernyataannya memang masuk akal. Pasalnya, sidang dengan perkara pengaturan skor yang melibatkan 16 orang itu, mulai dari direktur wasit, wasit, komite wasit, exco PSSI hingga Plt Ketum PSSI itu masih ditangan satgas. Baru sebagian saja yang sidah dilimpahkan ke penuntutan di Kejaksaan Agung.
"Dari fakta persidangan itu, baru bisa kita tentukan sikap (apakah ada penuntutan dengan pidana tambahan pencabutan hak untuk berkecimpung di sepakbola atau tidak," ujar Mukri.
Satgas Anti Mafia Bola sendiri menjerat 15 tersangka pengaturan skor dengan Undang-undang Tindak Pidana Suap Pasal 2 , mengatur soal pemberi suap, ancaman pidana maksimal 5 tahun dan denda maksimal 15 juta. Lalu pasal 3, penerima suap dengan ancaman pidana 3 tahun dan denda Rp 15 juta.
Artinya, setiap pelaku mafia bola hanya akan mendapat sanksi penjara dan masih dimungkinkan kembali ke sepakbola.
Namun, dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu berupa pencabutan hak untuk tidak berkecimpung di sepakbola, bisa memastikan sistem sepakbola Indonesia tidak dihuni oleh mereka yang pernah terlibat praktik kotor.
Pengamat sepakbola, Tommy Welly kemarin menekankan perlunya penegakkan hukum sepakbola yang mampu menindak pelaku match fixing dengan jara. Salah satunya, hukuman seumur hidup untuk tidak berkecimpung di sepakbola.
Kemarin, ia mencontohkan hal itu dengan kasus calciopoli di Italia. (men)