Waktu itu penguasaan bola ada pada Kuwait. Kami bertahan di garis tengah (defending
in midfield areas) sembari menunggu kesalahan pemain Kuwait.
Dan benar saja mereka melakukan kesalahan, Ronny Wabia (rekan Widodo) memotong bola, dia lantas menggiring bola ke sisi kiri pertahanan lawan tanpa kawalan.
Saat dia menggiring bola, saya berlari ke arah kotak penalti lawan dan mengambil posisi siap menerima umpan.
Ronny pun memberikan umpan ke kotak penalti dan saya spontan menyambarnya dengan salto.
Bagaimana mengakali bek Kuwait agar pengambilan posisinya bisa tepat?
Itu individual tactical. Selain diajarkan pelatih, ada pula feeling dari pertandingan-
pertandingan sebelumnya. Jadi ada pengalaman.
Saat tim menyerang, saya sebagai striker tak pernah mau ditempel pemain lawan. Saya selalu mencari celah di antara bek.
Pada pertandingan melawan Kuwait pun sama. Ada dua bek mereka yang memantau
saya namun saya mencari celah di antara mereka: satu bek mereka ada di depan saya
dan satunya di belakang.
Saat umpan silang dari Ronny datang, saya ada celah dan saya sudah siap menyambar bola dan gol itu terjadi.
Sebelumnya saya sering melatih insting bagaimana menyambut bola umpan silang, umpan lambung, atau pantulan dari kiper, semuanya. Insting harus dilatih.
Saya tidak melatih untuk mencetak gol indah, tetapi feeling yang saya kuatkan.
Memang bola (umpan dari Ronny) itu sudah out of position. Dalam pikiran saya, untuk
menjangkau bola dengan sundulan sudah tak bisa, tapi saya ada keyakinan jika saya
melompat dan menggunakan kaki saya untuk menyambut bola itu di udara, maka akan
ada peluang. Itu saya lakukan dengan cepat, saya lari dan melakukan lompatan salto
menyambut bola.
Saya berupaya fokus mengarahkan kaki saya menyambut bola agar sepakan saya lurus ke gawang.
Saya yakin bahwa tembakan saya akan mengarah ke gawang karena posisi saya sudah saya arahkan agar sejajar dengan gawang.
Seusai salto, saya melihat bola ada di dalam jaring gawang Kuwait, artinya saya mencetak gol.
Saya tak menyangka itu masuk.