Viscidi kemudian menerapkan kurikulum dan dasar sepak bola Italia dengan nama C-A-R-P-I yang merupakan singkatan dari Costruzione (build up serangan), Ampiezza (lebar lapangan), Rifinitura (pemahaman ruang) and Profondita (penempatan posisi).
Atas permintaan Maurizi Viscidi dan filosofinya, FIGC kemudian menunjuk Roberto Mancini.
Bukan tanpa alasan Mancini ditunjuk sebagai Commissario Tecnico, ia adalah sosok radikal sejak zaman masih aktif bermain.
Ia menolak permainan bertahan, dan semua tim yang ia latih, memiliki filosofi menyerang dan itu sesuai dengan visi misi FIGC.
Mancini membangun tim dengan lini tengah yang solid, Veratti-Insigne-Jorginho, dan tim akan dibentuk di sekitar 3 pemain tersebut.
Roberto Mancini juga membangun staf kepelatihan yang solid, Vialli, Alberigo Evani, Attilio Lombardo dan Fausto Salsano, menjadi tangan kanannya.
Keempat sosok tersebut adalah yang berjasa memabawa Sampdoria menjadi Scudetto pada 1990.
Dengan tim yang solid, terbukti Italia memperagakan permainan yang sangat berbeda dibanding era sebelumnya.
Tidak ada sepak bola bertahan, Italia menjadi penguasa pertandingan dan jalannya laga.
Menghadapi Spanyol, kita seolah dihipnotis dengan dua tim dengan permainan penguasaan bola yang serupa.
Italia tidak lagi takut menguasai bola, mereka lebih berani menyerang dan mencetak gol.
Dan jika akhirnya Italia menjadi Juara Euro 2020, kesuksesan ini bukan hanya diangun dalam 2-3 tahun, namun penuh dengan jatuh bangun usai gagal ke Piala Dunia hingga kini, tampil di Wembley dengan satu laga penentu gelar juara.
(Tribunnews.com/Gigih)