TRIBUNNEWS.COM - Italia vs Swedia, di leg kedua Playoff menuju Piala Dunia 2018, tidak akan pernah dilupakan supporter Italia.
Itu adalah titik terendah Italia, ketika Giampiero Ventura beradu mulut dengan Daniele De Rossi yang menolak bermain.
Dengan gaya khas orang Roma, ia membantah perintah Ventura, De Rossi bersikukuh, Italia butuh menang bukan hasil imbang.
Saat itu Italia kalah agregat 1-0 dari Swedia.
De Rossi menunjuk Lorenzo Insigne sebagai pemain yang harusnya dimainkan alih-alih dirinya.
Baca juga: Antonio Gagliardi, Ahli Statistik yang Bawa Italia Juara Euro 2021, Diperebutkan Juventus dan FIGC
Baca juga: Bryan Cristante Pahlawan Terlupakan Italia di Final Euro 2021, Dibuang AC Milan, Andalan di AS Roma
Namun, Ventura yang sudah kepalang emosi, enggan mendengarkan saran De Rossi, Insigne dicampakkan, Italia gagal ke Piala Dunia.
Maju 3 tahun setelahnya, kepemimpinan Italia berganti, Roberto Mancini tidak sedikitpun berpikir untuk mencadangkan Lorenzo Insigne.
Insigne kini berusia 30 tahun, usia yang cukup matang untuk pesepakbola, namun, cara bermainnya tidak berubah.
Insigne tidak pernah menjadi pilihan utama di Italia, sejak debutnya di 2012, ia hanya menjadi back-up.
Di Euro 2016 ia menjadi back up dari Eder dalam skema 3-5-2 di bawah Antonio Conte.
Setali tiga uang di bawah Ventura, skema 3-5-2 tidak pernah pas untuk Insigne yang bermain di posisi kiri dan melakukan cutting inside.
Penolakan bukanlah hal baru, tingginya, hanya 163 sentimeter.
Tidak ada foto yang lebih ikonik ketika Insigne bersebalahan dengan Bonucci yang tingginya 2 meter, Insigne nampak seperti ball boy.
Dan tinggi badan sempat menjadi masalahnya, ia ditolak trial bersama Inter Milan dan Torino, alasannya, ia terlalu pendek untuk jadi pesepakbola.
Beruntungnya, penolakan itu adalah jalan lebar ke klub impiannya, Napoli.
Insigne besar di sepakbola jalanan, jangan heran kemampuan dribillingnya sekaligus aksi di atas lapangan sangat menghibur.
Pengidola Alessandro Del Piero ini kemudian bergabung bersama akademi Napoli di usia 15 tahun.
Saat itu pada 2006, Napoli sedang dilatih oleh Zdenek Zeman yang sangat anti bertahan.
"Tidak tahu cara bertahan, tidak ingin bermain bertahan dan hanya ingin menyerang,"adalah slogan Zeman saat itu.
Dan Zeman sangat paham kualitas menyerang Insigne, mengirimnya ke Pescara yang saat itu diperkuat Marco Veratti dan Lorenzo Insigne.
Baca juga: Italia Juara Euro 2021, Roberto Mancini jadi Pangeran Tampan dalam Serial Snow White
Baca juga: Tikitalia, Bawa Italia Juara Euro 2021, Buah Pikiran Mancini dan Pengganti Catenccio
Bersamaan dengan itu, Insigne sukses membawa Italia U-21 menjadi finalis Euro U-21 di Israel, tandemnya saat itu, Jorginho.
Sebagai fans sejati dan bermain untuk Napoli, kedewasaanya juga terbentuk.
"Saya jauh lebih buruk dibanding Ultras," ketika Insigne ditanya mengenai fanatismenya akan Napoli.
Ketika Napoli kalah, tidak ada satupun yang membuatnya tersenyum.
"Ia terlalu pemarah ketika Napoli kalah, ia bisa benar-benar merusak susasana apapun jika Napoli kalah," ujar Gattuso, mantan pelatih Napoli.
Pendewasaannya terbentuk ketika ia menjadi Kapten tim, tidak ada lagi kekecewaan berlebih, hanya 100 persen untuk Italia dan Napoli.
Jangan heran jika Il Magnifico tidak tergantikan di Italia, bahkan Gareth Southgate mengubah formasinya untuk menghentikan Insigne.
Kyle Walker dan Kieran Trippier difungsikan untuk mematikan pergerakan Insigne, namun gagal, gol Italia yang berawal dari tendangan bebas, tidak lepas dari akslerasi sang pemain.
Di level Timnas Insigne sudah mendapatkan gelar yang bergengsi.
Namun di level tim, ia di posisi sulit.
Mengharapkan Scudetto bersama Napoli adalah hal yang sulit jika bukan mustahil, usianya saat ini 30 tahun, dan di persimpangan, apakah menjadi Totti untuk Roma, atau meraih gelar di tim lain.
Namun seperti yang diungkapkan Maurizio Sarri ketika ditanya, siapa yang akan membawa Italia juara Piala Dunia, dengan satu hisapan rokok, Sarri menjawab : "Lorenzo Insigne adalah pemain terbaik Italia sepanjang masa,"
(Tribunnews.com/Gigih)