TRIBUNNEWS.COM - Berbeda dengan Marco Veratti yang penuh akselerasi dan Lorenzo Insigne yang sangat cepat, Jorginho justru tidak banyak bergerak.
Ia tenang, mengatur tempo, mengalirkan bola, semua pemain Italia terfokus ke mana Jorginho berada untuk mengalirkan bola dan menguasai permainan.
Inggris kesulitan tiap kali Jorginho mendapat bola, Kalvin Phillips bahkan harus menghentikan Jorginho dengan cukup keras di awal laga.
Gelar juara Euro 2021, mestinya sudah menjadi nilai mutlak bagi Jorginho sebagai kandidat Ballon d'Or.
Namun, seperti Regista pada umumnya, peran Jorginho sangat minim apresiasi.
Baca juga: Saga Transfer Romelu Lukaku, Kebutuhan Chelsea Masalah Finansial Inter Milan dan Faktor Timo Werner
Baca juga: Eksperimen Thomas Tuchel Bawa Chelsea Permalukan Arsenal, Christian Pulisic Main Sebagai Fullback
Tidak semua playmaker bisa menjadi regista, tetapi semua regista adalah playmaker, adalah ucapan terkenal Vittori Pozzo.
Vittorio Pozzo adalah pelatih Italia pada 1930-an, ia mencari cara untuk memberi ruang kepada pemain kreatif yang tidak hanya menyerang tetatpi punya kemampuan bertahan.
Saat itu skema 2-3-5 adalah yang paling terkenal, dengan centre-half di posisi lebih bertahan, dan minim akselerasi untuk menyerang.
Di sinilah Pozzo menginginkan satu centre-half yang punya kreatifitas untuk membangun serangan.
Akhirnya, lahir nama regista, yang dalam bahasa Italia berarti sutradara.
Regista punya posisi yang spesifik sebagai pemain di antara gelandang dan bek, atau halfspace.
Berbeda dengan Mezzala yang lebih dominan dalam membantu lini serangan, Regista harus sangat memperhitungkan keseimbangan tim sebelum membangun serangan.
Inilah kesulitannya, sebagai pemain yang bertugas menjaga keseimbangan dan menyusun serangan, Regista akan mendapatkan tekanan dari lini tengah lawan.
Maka, regista harus benar-benar tenang dalam memegang bola, dan memiliki kemampuan melepaskan diri dari tekanan lawan.
Regista juga harus memiliki akurasi umpan yang tepat baik bola panjang atau umpan pendek.
Tugasnya tidak selesai, ia juga harus dengan cepat berpindah posisi untuk mendapatkan bola jika penyerang atau gelandang kesulitan memecah pertahanan lawan.
Dan ketika bertahan, ia menjadi pemain pertama yang membuat situasi overload bagi timnya, dengan menjadi pemain bertahan tambahan dan membuat penyerang lawan kesulitan mencari ruang kosong.
Kemampuan intersep, dan memotong aliran bola lawan ditabah dengan duel-duel lini tengah adalah tugas lain dari seorang regista.
Maka jangan heran regenerasi posisi ini bisa menjadi penentu gelar bagi tim.
Baca juga: Profil Kaio Jorge: Wonderkid Kaio, Striker Berusia 19 asal Brasil yang Segera Mendarat di Juventus
Baca juga: Mezzala, Kunci Sukses Barcelona, Manchester City, Juventus hingga Timnas Italia
Andrea Pirlo dan Jorginho adalah dua regista yang mungkin terkenal.
Pirlo melakukannya di Milan dan Juventus.
Bersama Ancelotti di Milan, ia menjadi holding midfield dalam skema 4-4-2, di antara Massimo Ambrosini, Gennaro Gattuso dan Seedorf.
Di Juventus ia memiliki peran serupa dengan skema 3-5-2 Conte.
Pirlo mengisi tempat di belakang Vidal, Marchisio dan Pogba, sebagai pengatur tempo serangan.
Sejatinya ini yang diharapkan dari Eriksen di Inter Milan ketika didatangkan Conte.
Tetapi seperti yang diucapkan Pozzo, Erikson gagal menjadi Regista yang diharapkan.
Sedangkan Jorginho adalah contoh lain, sejak di Hellas Verona, ia adalah gelandang sentral yang punya kemampuan bertahan dan menyerang sama baiknya.
Di bawah Maurizio Sarri, skema 4-3-3 Napoli menunjukkan peran lebih dari Jorginho.
Bersama Allan, ia berotasi posisi di tengah dan kanan, di belakang Hamsik.
Dan di Chelsea Jorginho adalah potongan paripurna dari skema Tuchel, juara Liga Champions mestinya sudah cukup menggambarkan perannya di The Blues.
Dan tidak salah ketika Roberto Mancini membangun tim di sekitar Jorginho-Veratti-Insigne, karena perpaduan ketiganya sukses membawa gelar juara Euro 2021.
Selain keduanya, ada Michael Carrick dan Xabi Alonso.
Carrick diharapkan bermain seperti Scholes atau Roy Keane, dan Alex Ferguson justru mendapatkan keduanya dalam satu tubuh.
Carrick tidak cepat, tetapi punya akurasi umpan yang luar biasa, ia tidak sekeras Keane, tetapi kemampuan memotong bolanya sangat membantu pertahanan Manchester United.
Sedangkan Xabi Alonso menjadi regista kala bermain bagi Bayern Munchen di bawah Pep Guardiola.
Xabi Alonso tidak memiliki tugas bertahan di Liverpool dan Real Madrid.
Tetapi statistik yang diterima Pep bahwa kemampuan intersep Alonso di atas rata-rata, membuat Pep menjadikannya regista.
Tugas itu dijalankan dengan baik oleh Alonso, dan Pep Guardiola sedang mencari pemain yang bisa bermain di posisi ini, namun sejauh ini hanya Rodri yang paling mendekati permainannya.
Dan regista selalu kuran mendapatkan apresiasi, semua mengerdilkan peran Jorginho, Carrick atau Alonso.
Tetapi seperti sutradara di balik layar, kemampuan menciptakan script untuk jalannya permainan adalah kehebatan mereka.
(Tribunnews.com/Gigih)