Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdul Majid
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) memang telah dibubarkan oleh Presiden Joko Widodo pada akhir Desember 2020.
Presiden Jokowi membubarkan 10 lembaga termasuk BOPI dengan alasan efektivitas dan efisiensi yang tertuang dalam peraturan Presiden nomor 112 tahun 2020.
Salah satu kinerja dari BOPI sendiri yakni memverifikasi klub-klub yang akan berlaga di kompetisi profesional seperti Liga 1 dan Liga 2.
Setelah persyaratan dipenuhi termasuk klub tak ada lagi yang menunggak gaji kepada pemain, BOPI baru bisa memberikan rekomendasi kepada operator atau federasi untuk menggelar kompetisi tersebut.
Meski kini BOPI sudah tidak ada, Direktur Utama PT LIB, Akhmad Hadian Lukita sebelumnya mengatakan ada atau tidaknya BOPI, pihaknya akan tetap memberikan persyaratan ketat kepada klub-klub atau pemain sebagaimana yang sebelumnya diarahkan BOPI.
“Ya, ada BOPI atau tidak ada BOPI kami akan lakukan menjalani verifikasi. Kami anggap BOPI itu masih ada, jadi semua pemain, klub tetap harus melengkapi syarat-syaratnya. Kitas atau apa pun kewajiban masing-masing gitu,” kata Hadian.
“Sekarang apakah kami nunggu lembaga yang baru atau langsung ke Kemenpora di bidang tertentu. Tapi ini akan dikomunikasikan lagi antara PSSI, PT LIB dan Kemenpora,” sambungnya.
Sementara itu, Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) yang sangat konsen dengan masalah penunggakan gaji pemain berharap kedepan klub-klub Liga 1 dan 2 tak lagi melakukan hal itu.
PT LIB sebagai operator diharapkan bisa bertindak tegas kepada klub yang masih menunggak gaji dengan memberikan sanksi larangan pendaftaran pemain untuk 3 periode.
APPI juga mengingatkan kepada pemain agar memiliki salinan kontrak sehingga jika terjadi penunggakan gaji mereka bisa melaporkan ke National Dispute Resolution Chamber (NDRC).
“APPI berharap peraturan ini dapat ditaati oleh seluruh klub Profesional di Indonesia, baik di Liga 1 ataupun Liga 2. Karena dengan tidak adanya salinan kontrak, selain melanggar peraturan FIFA, hal ini juga sangat merugikan bagi pesepakbola karena tidak dapat melakukan penyelesaian atas kasusnya melalui NDRC,” jelas executive Committee APPI, Riyandi Angki.