TRIBUNNEWS.COM - Perkembangan sepak bola kawasan Asia Tenggara sedang mengarah ke tujuan yang positif.
Pemain yang berasal dari Asia Tenggara semakin membuka diri untuk berkelana dan menimba ilmu di liga luar negeri.
Liga-liga Eropa juga tak luput dari jajahan para pemain ini.
Beberapa punggawa Timnas Indonesia bahkan membuktikan diri mampu bersaing di benua biru.
Baca juga: Kasus Covid-19 Meningkat, Timnas U-23 Indonesia yang TC di Bali Dijaga Ketat Sebelum ke Kamboja
Egy Maulana Vikri dan Witan Sulaeman menjadi contoh terdepan.
Keduanya mampu menancapkan pengaruh di klub Liga Slovakia, FK Senica.
Khusus bagi Egy Maulana, ia semakin mendapat kepercayaan dari pelatih untuk tampil di laga-laga penting FK Senica.
Bahkan Timnas Indonesia harus merasakan sendiri alotnya perundingan dengan Senica saat gelaran Piala AFF lalu.
Baca juga: Sinar Pratama Arhan Menembus Italia, Sosok Ini Minta Lazio Datangkan Bek Kiri Timnas Indonesia
Klub asal Slovakia itu ngotot tak melepas Egy sampai roda kompetisi di sana rampung.
Selain kedua nama itu, masih ada sosok Elkan Baggott yang tak kalah mengundang perhatian.
Ia kini berkiprah di klub Ipswich Town yang berada di bawah naungan Liga Inggris.
Kemampuan Baggott bahkan dinilai tinggi oleh beberapa klub Liga Primer Inggris.
Ia sempat menjadi komoditas hangat di bursa transfer beberapa saat lalu.
Meski demikian, harus diakui tak banyak pemain Asia Tenggara yang bisa menembus sepak bola Eropa.
Hal ini mendapat tanggapan dari salah satu staff akademi Borussia Dortmund, Julia Farr.
Farr yang kini berkecimpung di akademi Dortmund yang berada di Singapura, berkenan berbagi pengalaman.
Ia sejatinya mengagumi betul talenta-talenta sepak bola dari kawasan Asia atau Asia Tenggara.
Farr memandang secara teknik, kemampuan para pemain ini tak kalah dengan pemain yang ada di benua biru.
Namun, ada beberapa hal yang seakan menjadi jurang pembeda antara pemain dari Asia dengan Eropa.
Julia Farr tak menampik jika faktor fisik turut menjadi pembeda.
Fisik di sini tak hanya soal postur atau perawakan badan saja.
Farr secara spesifik menyinggung tingkat kekuatan para pemain Asia yang sering kurang terasah.
Selain kekuatan, faktor kebugaran juga menjadi isu paling besar bagi pemain dari kawasan Asia untuk merumput di Eropa.
"Perbedaan utama dari pemain Asia dan Eropa terletak pada kekuatan dan kebugaran," ungkap Farr dikutip dari Zing News.
Menurutnya, kedua hal itu harus dilatih dan digembleng sejak dini.
Ia membandingkan dengan kultur sepak bola Eropa, di mana para pemain muda di sana sering berlaga menghadapi lawan yang lebih besar dan kuat.
Itu, secara tidak langsung, membantu para pemain untuk ikut mengasah kekuatan dan faktor non teknis lainnya.
Baca juga: Sisi Negatif Skuad Timnas U-23 Indonesia di Piala AFF U-23, Materi Pemain Ketuaan, Itu-itu Saja
"Satu hal yang saya amati ketika menjadi pelatih akademi Dortmund adalah para pemain, sejak usia dini, bermain secara reguler," ujar Farr.
"Mereka berlaga melawan musuh yang kuat dan tangguh."
"Di sana, mereka akan menghadapi Schalke, Cologne, atau Freiburg."
"Itu membantu para pemain muda untuk mengembangkan kemampuan fisik dan teknik mereka."
"Di sepak bola sangat penting untuk bermain secara reguler," lanjutnya.
Farr lantas memberi saran agar negara-negar di Asia Tenggara membenahi kultur sepak bolanya.
Menurutnya, negara-negara kawasan bisa meniru apa yang dilakukan di Eropa dalam hal intensitas latihan dan jumlah klub profesional.
"Sepak bola Asia harus menyusul negara Eropa dalam hal intensitas latihan dan jumlah klub profesional," ucap Farr.
"Itu akan membantu para pemain muda untuk meningkatkan kemampuan di area tertentu," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Guruh)