TRIBUNNEWS.COM - Kepala Frank Lampard sedang pening bukan main menangani tim Liga Inggris, Everton.
Sengaja didatangkan untuk menjadi juru selamat Everton dari ancaman degradasi, Lampard belum mampu menunjukkan magisnya dalam meracik strategi.
Justru sebaliknya, Everton terus menorehkan hasil minor dan membuat The Toffees menjadi tim Liga Inggris yang berada dalam jurang degradasi.
Rekor Lampard bersama Everton begitu buruk, Richarlison dan kolega hanya meraih 2 kemenangan dan 6 kekalahan dalam 8 laga mereka di Liga Inggris.
Terakhir, The Toffees menyerah dengan skor 3-2 menghadapi Burnley dalam pekan ke-29 Liga Inggris pada (07/04/2022).
Baca juga: Top Skor Liga Champions seusai Real Madrid Lumat Chelsea: Benzema Salip Salah, Lewandowski Terancam
Baca juga: Liga Champions: Unai Emery Puas Ukir Pemandangan Langka Bikin Bayern Munchen jadi Abnormal
Hasil tersebut membuat Everton kini terlempar di posisi 17 klasemen Liga inggris dengan hanya mengumpulkan 25 angka.
Poin yang mereka kumpulkan hanya berjarak 1 angka dari Burnley yang berada di zona degradasi.
Mengalami 6 kali kekalahan dan hanya 2 hasil kemenangan dari 8 laga di Liga Inggris membuat kemampuan Lampard dalam meracik strategi mulai dipertanyakan.
Apalagi, notabenenya sebagai juru taktik asal Inggris, semakin membuat khalayak ragu dengan etos kerjanya sebagai pelatih.
Faktanya, pelatih lokal asal Inggris memang dipandang sebelah mata oleh berbagai khalayak dan tim-tm besar.
Di tim big six saja, tak ada satupun yang ditangani oleh pelatih asli asal Inggris.
Sebenarnya, asa untuk menghadirkan pelatih lokal hebat pernah terlahir dalam diri Frank Lampard.
Di musim 2019/2020, pelatih muda berusia 43 tahun tersebut dipercaya untuk menukangi bekas tim yang membesarkan namanya, Chelsea.
Musim pertamanya bersama Chelsea berjalan begitu meyakinkan, ia berhasil membawa The Blues untuk finish di peringkat empat klasemen Liga Primer Inggris.
Ia juga menjadi pelopor tim yang berkandang di Stamford tersebut untuk mengorbitkan pemain-pemain muda.
Nama-nama seperti Mason Mount, Tammy Abraham, dan Fikayo Tomori adalah deretan pemain muda yang ia bawa pulang dari masa peminjaman untuk mendapatkan tempat mengisi skuat inti The Blues.
Debut Lampard yang meyakinkan tersebut, membuat Roman Abrahamovic semakin percaya dengannya.
Untuk menaungi Liga Primer Inggris musim 2020/2021, Abrahamovic menggelontorkan dana sebesar 200 juta euro atau sekitar 3,2 triliun rupiah sebagai modal belanja pelatih asal Inggris itu.
Namun, hal tersebut justru menjadi bencana untuk Lampard.
Nama-nama besar yang ia boyong tak mampu ia kombinasikan dengan skuat muda miliknya.
Alhasil, Chelsea dibawanya tercecer di papan tengah Liga Primer Inggris hingga pekan ke-13.
Kondisi tersebut membuat Abrahamovic geram dan memecatnya pada bulan Januari untuk digantikan oleh juru taktik asal Jerman, Thomas Tuchel.
Dipecatnya Frank Lampard membuat asa untuk pelatih lokal dapat membawa pulang gelar Liga Primer Inggris pun pupus.
Sudah berjalan 23 pekan, Sudah ada delapan pelatih Liga Inggris yang dicopot dari kursi kepelatihannya.
Di antaranya adalah Xisco Munoz (Watford), Daniel Farke (Norwich), Nuno Espirito Santo (Tottenham), Steve Bruce (Newcastle), Dean Smith (Aston Villa), Ole Gunnar Solskjaer (Man United), Rafael Benitez (Everton), dan Claudio Ranieri (Watford).
Yang menjadi pelik, dua dari delapan nama yang disebutkan (Steve Bruce dan Dean Smith) merupakan pelatih yang berstatus sebagai juru taktik lokal asal Inggris.
Dilansir Transfermarkt, dengan dipecatnya mereka, hanya ada empat nama saja yang merupakan orang asli Inggris dalam daftar 20 pelatih yang berlaga di Liga Primer Inggris musim 2021/2022.
Nama-nama tersebut adalah Howe Eddie (Newcastle United), Sean Dyche (Burnley), Graham Potter (Brighton and Hove Albion), dan Steven Gerrard (Aston Villa).
Nama-nama yang disebutkan di atas, praktis hanya menangani klub-klub papan tengah dan bawah Liga Inggris.
Artinya, pelatih lokal di sana memang tak diperhitungkan untuk menjadi sosok pelatih yang mumpuni.
Lebih buruknya, sampai detik ini, tidak ada satu pun pelatih asal Inggris yang berhasil membawa timnya menjuarai Liga paling kompetitif di eropa tersebut.
Fakta itu berbanding terbalik dengan empat liga top eropa lainnya.
Musim lalu saja (2020/2021) para peraih gelar di Serie A, La Liga, Bundesliga hingga League 1, berhasil diraih oleh tim yang dinahkodai oleh pelatih-pelatih lokal.
Inter Milan bersama Antonio Conte, Atletico Madrid bersama Diego Simeone, Bayern Munchen bersama Hans-Dieter Flick, dan Lille OSC bersama Christophe Galtier.
Tim-tim elit di Liga Primer Inggris lebih mempercayakan timnya untuk ditukangi oleh pelatih asing, juru taktik asal Jerman menjadi yang paling favorit.
Sebenarnya, pelatih lokal Inggris pernah berjaya pada musim 1991/1992.
Saat itu, Liga teratas di Negeri Ratu Elizabeth berhasil dimenangkan oleh Leeds United yang dinahkodai oleh juru taktik lokal bernama, Howard Wilkinson.
Liga nomor satu di Inggris masih bernama First Division, barulah di musim 1992/1993 Liga Primer Inggris mulai digelar.
Dan setelahnya, tak ada lagi pelatih lokal disana yang berhasil meraih kejayaan.
Gagalnya Lampard di Chelsea musim lalu, dan didepaknya Steve Bruce dari kursi kepelatihan Newcastle United musim ini membuat citra pelatih lokal Inggris semakin buruk.
Klaim sebagai liga paling kompetitif dan terbaik di dunia tak membuat Inggris mampu menghadirkan pelatih lokal elite yang namanya diperhitungkan.
(Tribunnews.com/Deivor)