“Saya tidak tahu apa itu sepak bola atraktif. Yang saya tahu adalah bermain bagus, tim menguasai pertandingan. Tim membuat banyak peluang,” tutur Eduardo Almeida.
“Jika kita melakukannya dengan banyak umpan, lalu kita melakukan salah umpan, lalu akhirnya kebobolan. Jadi, bagi saya adalah mencoba bermain untuk menang dan mencari solusi terbaik untuk itu,” katanya.
Pola pikir dari Eduardo Almeida ini mirip-mirip gaya kompatriotnya sesama Portugal, Jose Mourinho.
Keduanya adalah pelatih yang sama-sama menganut gaya permainan pragmatis.
Artinya, kedua pelatih fokus memaksimalkan sumber daya yang tim miliki untuk memenangkan pertandingan dengan cara seefektif dan seefisien mungkin.
Jose Mourinho juga mendapatkan banyak kritik saat menerapkan sepak bola pragmatis yang salah satunya dikenal orang dalam wujud strategi parkir bus.
Gaya permainan itu disebut mematikan keindahan sepak bola.
Namun, Mourinho tidak peduli pada kritik tersebut dan konsisten dengan keyakinannya sampai mengantarkan Chelsea menjuarai Premier League untuk ketiga kalinya di musim 2014-2015.
Dalam bincang-bincang di satu kanal televisi olahraga Internasional Bein Sport pada 2019 Jose Mourinho memberikan pembelaan mengenai gaya sepak bolanya.
“Untuk menjadi juara, ketika Anda bukan tim terbaik di negara ini, Anda harus lebih berstrategi daripada berfilosofi,” ujarnya.
Cara pandang The Special One, julukan Jose Mourinho, cukup tercermin dalam pekerjaan Eduardo Almeida bersama Arema FC.
Pada Liga 1 2021-2022 lalu ia nyaris mengantarkan Arema FC menjadi juara dan sempat mencatat rekor 23 laga tanpa kekalahan.
Padahal, musim lalu kedalaman pemain Arema FC dinilai tidak sebagus tim-tim bertabur bintang seperti Persib Bandung, Bali United, dan Bhayangkara FC. (oln/*bun/Suci Rahayu/Kompas.com)