"Saya pernah di posisi itu, saat setelah atau sebelum kami berangkat ke Malaysia, mencari anggaran untuk tim pada saat itu saya jujur sudah tidak bisa mencari cara lagi," ungkap Yudhi.
"Pada akhirnya ada event di lingkup lembaga negara, di situ saya bermohon untuk dapat diberikan waktu untuk sosialisai penggalangan dana. Pada saat itu saya ditolak mentah-mentah dihadpan media dan beberapa pejabat tinggi di lembaga tersebut," ujar Yudhi menjelaskan.
Tak hanya itu, pada saat Timnas sepak bola amputasi Indonesia diundang untuk kualifikasi Piala Dunia di Bangladesh pun belum mendapat perhatian pemerintah.
Mau tak mau, Yudhi pun harus pasang badan sebagai jaminan atas pinjaman dana yang digunakan untuk anak asuhnya demi tampil di kualifikasi piala dunia.
"Pengalaman kami waktu kemarin ke Bangladesh, yang betul-betul itu kualifikasi, dan kami mendapatkan undangan resmi dari WAFF, disaat itu juga pemerintah masih menutup mata dan telinga," ungkap Yudhi.
"Sampai akhirnya mereka pulang, dan saya tidak diberangkatkan karena menjadi jaminan, terhadap hutang-hutang yang kami ambil waktu itu," ujarnya lirih.
Pasca kejadian itu lah Yudhi sedikit mundur untuk sejenak beristirahat dan memutar otak untuk mencari cara supaya roda organisasi tetap berjalan.
Semangat dari pengurus PSAI dan anak asuhnya lah yang akhirnya menjadi doping semangat bagi Yudhi untuk melanjutkan apa yang telah ia perjuangkan.
"Saya pernah berada di titik lelah saya. Tapi kembali lagi, saya melihat semangat para pengurus dan pemain yang memang beberapa tahun ke belakang itu kami tidak beri gaji," kata Yudhi.
"Tapi mereka punya semangat, itu yang menjadi spirit untuk saya dan lainnya untuk terus berjuang mendapatkan pengakuan khususnya untuk penganggaran Timnas," tegasnya.
Bicara soal kebutuhan para pemain, PSAI tak hanya dibenturkan oleh pernagkat latihan, dalam perjalananya skuad Garuda INAF sempat kesulitas mendapatkan tongkat guna bertanding.
Meski awalnya sempat terbentur masalah dana, belakangan diketahui pajak impor alat kesehatan pun sempat menjadi hambatan pada tahun 2019.
"Dulu kami sulit mencari anggaran untuk membeli tongkat, sekarang kami sudah mendapatkan anggaran tapi sulit untuk mengakses dapat tongkat," kata Yudhi.
"Karena, pajaknya itu luar biasa mahal, waktu itu saya pernah sampaikan waktu rapat dengar pendapat dengan DPR RI tahun 2020 terkait dengan peniadaan pajak bagi alat bantu olahraga disabilitas, tapi sampai saat ini belum diakselerasikan," sambungnya.
Bagaimana tidak, PSAI sejatinya dibelikan 20 pasang tongkat yang dikirim dari Malaysia, namun ternyata pengiriman tongkat itu dibagi dalam dua gelombang.
Pada pengiriman pertama, paket tersebut berisikan 17 pasang dengan pajak yang dibebankan senilai Rp 3,6 juta, kemudian tiga pasang sisanya yang dikirim di gelombang kedua memiliki pajak yang lebih mahal, yakni mencapai Rp 7 juta.
Jika diakumulasikan, total nilai yang harus dikeluarkan oleh PSAI untuk membayar pajak tersebut berkisar pada angka Rp 10 juta.
"Akhirnya kami tidak ambil yang tiga pasang itu, karena tidak ada titik temu, akhirnya saya sampaikan kami hibahkan tiga pasang tongkat kami itu untuk negara," kata Yudhi Yahya diiringi senyum lebar.
"Daripada kami ambil, harga tongkatnya saja tidak sampai segitu, kami bayar pajak Rp 6 juta, itu kalau direalisasikan ke pembelian tongkat itu bisa jadi 10 tongkat," tegasnya.
Sepak Bola Amputasi Diantara Stigma dan Paradigma
Tak hanya stigma negatif yang menempal pada penyandang disabilitas, rekanan Yudhi dkk, masih dihadapkan oleh paradigma masyarakat yang mengesampingkan kaum marjinal.
Meski sudah diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang disabilitas, dalam hal ini PSAI menilai, masih jauh dari implementasi di kehidupan sehari-hari.
Dalam undang-undang itu pun dijelaslkan secara gamblang bahwa penyandang disabilitas memiliki hak, kesempatan dan menjungjung kesetaraan.
"Kembali lagi ke paradigma ya, walaupun secara undang-undang sudah ada, tapi secara implementasi masih sangat minim," ucap Yudhi.
"Kemudian paradigma masyarakat terhadap disabilitas kan masih cukup rendah, makanya itu yang masih menjadi persoalan juga untuk kami," sambungnya.
Persoalannya tak sampai di situ, Pria yang kesehariannya juga bekerja di organisasi sosial nirlaba juga itu mengatakan, ada dinamika lain yang timbul dari sisi sang penyandang disabilitas.
Yudhi pun tak menampik jika penyandang disabilitas pasti memiliki tipikal untuk menutup diri, buih dari stigma yang menempel kepadanya.
"Kembali lagi, mereka (penyandang disabilitas) mau terbuka dengan situasi atau yang kami harpkan itu menjadi inklusif bukan eksklusif. Sampai sejauh mana mereka ingin membuka dirinya untuk bersosialisasi dengan orang-orang non-disabilitas," tutur Yudhi.