Laporan Wartawan Tribunnews.com, Alfarizy AF
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak pernah terpikirkan oleh Yudhi Yahya, sekelompok kaum marjinal atau prasejahtera yang ia bentuk enam tahun silam bisa melancong jauh dari ekspektasinya.
Timnas Sepak Bola Amputasi Indonesia akan mentas di ajang Piala Dunia Sepakbola Amputasi yang berlangsung di Turki 1-9 Oktober 2022.
Sebelum dipastikan tampil di Piala Dunia, Timnas sepak bola amputasi bisa dikatakan jauh dari perhatian publik tanah air, mulai dari media, swasta, bahkan pemerintah.
Lolosnya skuat yang berjuluk Garuda INAF ini pun seakan menjadi pembuktian terhadap stigma yang menempel kepada penyandang disabilitas yang dipandang sebelah mata.
Lewat obrolan awak Tribunnews.com dan Yudhi Yahya di Sekretariat PSAI, di daerah Cilandak, Jakarta Selatan, inilah kisah menarik cikal bakal sepak bola amputasi di Indonesia.
Yudhi Yahya adalah Ketua Umum Perkumpulan Sepak Bola Amputasi Indonesia (PSAI) atau yang lebih dikenal dengan nama Indonesia National Amputee Federation (INAF) dalama dunia internasional.
Nama Yudhi Yahya memang tak sebeken seperti Mochamad Iriawan alias Iwan Bule yang menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Indonesia.
Kendati demikian, hal itu tak menyurutkan semangat Yudhi dan anak asuhnya untuk membawa sepak bola Indonesia ke dunia internasional lewat cara yang berbeda.
Yudhi adalah penyandang disabilitas sejak 12 tahun silam, pria yang identik dengan janggutnya itu harus mengikhlaskan kakinya untuk diamputasi pasca kecelakaan yang diterimanya.
Resistansi Yudhi Yahya Bawa Sepak Bola Amputasi Indonesia ke Piala Dunia
Berdirinya PSAI dimulai dari obrolan Yudhi dengan
rekan senasibnya, ia pun akhirnya memberanikan diri untuk membentuk suatu wadah bagi penyandang disabilitas, terutama penderita amputasi atau les autres.
Ya, hanya itulah yang diharapkan Yudhi dan temannya pada 2017 silam, memberi kesempatan untuk penyandang disabilitas untuk tetap bisa bermain sepak bola.
Adalah Junaidi Abdillah dan Roni, dua penyandang disabilitas yang mengajak Yudhi Yahya untuk mendirikan perkumpulan tersebut.
Keduanya adalah bagian dari Timnas Sepak Bola Amputasi Indonesia, belakangan diketahui, Roni bukan lagi bagian dari skuad Garuda INAF - julukan Timnas Sepak Bola Amputasi Indonesia.
"Sebenarnya inisiasi itu sejak tahun 2015, saya ngobrol dengan teman-teman, ada Mas Jun dan Mas Roni, tapi itu belum saya tanggapi serius," kata Yudhi.
"Jadi 2017 baru saya mulai cari tahu sepak bola amputasi itu apa, ternyata keren juga, dan di tahun yang sama, saya bertemu dengan Mas Vincente, Mas Tomo, dan coba kumpulin teman-teman yang ruang lingkupnya itu ada di organisasi sosial disabilitas," ungkapnya.
Menurut Yudhi, lahirnya organisasi independen itu adalah buah dari kesamaan mimpi dan visi satu sama lain, yang tak bukan adalah untuk memberi penyandang disabilitas untuk bisa bermain sepak bola.
"Setelah terkumpul, ternyata kita punya mimpi yang sama, akhirnya kami coba buat satu tim, siapa yang punya minat dan hobi walaupun belum punya background menjadi pemain sepak bola, di situ kita coba eksplorasi teman-teman untuk bermain menggunakan tongkat," tutur Yudhi.
"Dari situ kami coba eksplorasi kemampuan teman-teman dan ternayata memang mereka memiliki kesungguhan untuk bermain sepak bola itu sangat luar biasa walaupun belum punya basic-nya," lanjut Yudhi semringah.
Perjalanan Sepak Bola Amputasi Indonesia Tembus Piala Dunia 2022
Malaysia punya peran penting dalam perjalanan PSAI untuk bisa membawa nama sepak bola amputasi Indonesia ke dunia internasional.
Pada tahun 2018, dengan waktu persiapan yang tak lebih dari tiga bulan, PSAI menerima undangan dari Negeri Jiran untuk bertanding di Petaling Jaya, Malaysia.
Dalam kurun waktu itu jugalah, Yudhi dan segenap pengurus PSAI lintang-pukang mencari urunan dana guna memberangkatkan Timnas Sepak Bola Amputasi Indonesia ke pertandingan internasional pertamanya.
"Sebelumnya kita hanya bermain funball, dan ternyata di tahun itu, kami mendapatkan undangan dari Malaysia, saya dan teman-teman berpikir ini momentum," ucap Yudhi.
"Akhirnya kami cari anggaran dan terealisasi, dan sepulang dari Malaysia kami mendapatkan hasil yang lumayan dan bisa dikatakan menjadi prestasi untuk kami, walaupun hanya latihan seadanya selama 2-3 bulan," lanjutnya.
Sejak 2018 sampai tahun 2020 akhirnya Yudhi dan rekan seperjuangnya mulai serius untuk membangun suatu kelembagaan yang diakui oleh Federasi Sepak Bola Amputasi Dunia (WAFF).
"Di situ mulai kami serius dari tahun 2018-2020 kami finalisasi dengan kelembagaan, melalui badan induk sepak bola amputasi dunia juga kami sudah diakui, dan menjadi anggota tetap," ucap Yudhi.
"Dari situ kami mulai membangun badan struktural serta kelembagaan agar lebih kuat lagi, sampai saat ini Alhamdulillah kami masih diberi kepercayaan untuk mengelola sepak bola amputasi di Indonesia," sambungnya.
Asa itu semakin jelas, ketika Timnas sepak bola amputasi Indonesia diundang untuk menjalani kualifikasi Piala Dunia wilayah Asia Timur bersama, Bangladesh, Jepang dan Malaysia.
Pada laga perdananya, Garuda INAF berhasil membantai tuan rumah, Bangladesh dengan skor telak 8-0. Kemudian di pertandingan kedua sekaligus laga kunci, Indonesia menang 3-0 dari Malaysia.
Indonesia lolos dengan status runner up grup setelah dikalahkan oleh Jepang dengan skor 0-2.
Hasil itu membuat Indonesia berada di posisi dua klasemen dengan total 6 poin dari 3 pertandingan dan menjadi perwakilan zona Asia Timur di Piala Dunia 2022 bersama Jepang.
Gonjang-ganjing Sepak Bola Amputasi Indonesia
Yudhi Yahya menceritakan perjalanannya meyakinkan para pemain untuk bergabung dengan skuad Garuda INAF. Dalam ceritanya, Yudhi bahkan sampai harus datang door to door untuk mencari bibit-bibit pemain.
Bahkan tak jarang ajakannya itu berujung penolakan, baik saat mencari calon pemain maupun saat mencari suntikan dana untuk jalannya roda organisasi, karena masih dianggap sebelah mata.
Oleh sebab itu, Yudhi pun respek terhadap segenap pengurus dan pemain yang masih sedia bertahan dalam naungan PSAI hingga saat ini.
"Karena dari 2018-2020 memang kami tidak ada pemasukan apa-apa, sampai saat ini pun juga bisa dikatakan belum ada, karena belum begitu settle. Karena penganggarannya juga sifatnya tiba-tiba, jadi belum dianggarkan pada tahun sebelumnya," kata Yudhi.
"Jadi orang-orang yang bertahan sampai saat ini menurut saya orang yang memiliki daya juang yang kuat serta kepercayaan yang tinggi terhadap organisasi, dan mimpi-mipinya untuk bermain sepak bola," sambung Yudhi dengan nada bicara sedikit bergetar.
Dalam prosesnya, Yudhi menyebut, tak banyak yang tahu jika organisasi yang ia dirikan baru seumur jagung itu hampir kandas karena tak ada satu pun donatur yang mau membantu.
Dalam ingatan Yudhi yang tak jelas waktunya, berkisar momentum pertandingan internasional pertama Aditya dkk, kontra Malaysia di tahun 2018, merupakan titik terendah dari organisasi tersebut.
Sampai akhirnya ada sedikit cahaya yang menjadi titik terang bagi Yudhi. Pada saat itu ia bak melihat oase di tengah gurun, namun harapan itu pupus seketika usai ditolak mentah-mentah.
"Saya pernah di posisi itu, saat setelah atau sebelum kami berangkat ke Malaysia, mencari anggaran untuk tim pada saat itu saya jujur sudah tidak bisa mencari cara lagi," ungkap Yudhi.
"Pada akhirnya ada event di lingkup lembaga negara, di situ saya bermohon untuk dapat diberikan waktu untuk sosialisai penggalangan dana. Pada saat itu saya ditolak mentah-mentah dihadpan media dan beberapa pejabat tinggi di lembaga tersebut," ujar Yudhi menjelaskan.
Tak hanya itu, pada saat Timnas sepak bola amputasi Indonesia diundang untuk kualifikasi Piala Dunia di Bangladesh pun belum mendapat perhatian pemerintah.
Mau tak mau, Yudhi pun harus pasang badan sebagai jaminan atas pinjaman dana yang digunakan untuk anak asuhnya demi tampil di kualifikasi piala dunia.
"Pengalaman kami waktu kemarin ke Bangladesh, yang betul-betul itu kualifikasi, dan kami mendapatkan undangan resmi dari WAFF, disaat itu juga pemerintah masih menutup mata dan telinga," ungkap Yudhi.
"Sampai akhirnya mereka pulang, dan saya tidak diberangkatkan karena menjadi jaminan, terhadap hutang-hutang yang kami ambil waktu itu," ujarnya lirih.
Pasca kejadian itu lah Yudhi sedikit mundur untuk sejenak beristirahat dan memutar otak untuk mencari cara supaya roda organisasi tetap berjalan.
Semangat dari pengurus PSAI dan anak asuhnya lah yang akhirnya menjadi doping semangat bagi Yudhi untuk melanjutkan apa yang telah ia perjuangkan.
"Saya pernah berada di titik lelah saya. Tapi kembali lagi, saya melihat semangat para pengurus dan pemain yang memang beberapa tahun ke belakang itu kami tidak beri gaji," kata Yudhi.
"Tapi mereka punya semangat, itu yang menjadi spirit untuk saya dan lainnya untuk terus berjuang mendapatkan pengakuan khususnya untuk penganggaran Timnas," tegasnya.
Bicara soal kebutuhan para pemain, PSAI tak hanya dibenturkan oleh pernagkat latihan, dalam perjalananya skuad Garuda INAF sempat kesulitas mendapatkan tongkat guna bertanding.
Meski awalnya sempat terbentur masalah dana, belakangan diketahui pajak impor alat kesehatan pun sempat menjadi hambatan pada tahun 2019.
"Dulu kami sulit mencari anggaran untuk membeli tongkat, sekarang kami sudah mendapatkan anggaran tapi sulit untuk mengakses dapat tongkat," kata Yudhi.
"Karena, pajaknya itu luar biasa mahal, waktu itu saya pernah sampaikan waktu rapat dengar pendapat dengan DPR RI tahun 2020 terkait dengan peniadaan pajak bagi alat bantu olahraga disabilitas, tapi sampai saat ini belum diakselerasikan," sambungnya.
Bagaimana tidak, PSAI sejatinya dibelikan 20 pasang tongkat yang dikirim dari Malaysia, namun ternyata pengiriman tongkat itu dibagi dalam dua gelombang.
Pada pengiriman pertama, paket tersebut berisikan 17 pasang dengan pajak yang dibebankan senilai Rp 3,6 juta, kemudian tiga pasang sisanya yang dikirim di gelombang kedua memiliki pajak yang lebih mahal, yakni mencapai Rp 7 juta.
Jika diakumulasikan, total nilai yang harus dikeluarkan oleh PSAI untuk membayar pajak tersebut berkisar pada angka Rp 10 juta.
"Akhirnya kami tidak ambil yang tiga pasang itu, karena tidak ada titik temu, akhirnya saya sampaikan kami hibahkan tiga pasang tongkat kami itu untuk negara," kata Yudhi Yahya diiringi senyum lebar.
"Daripada kami ambil, harga tongkatnya saja tidak sampai segitu, kami bayar pajak Rp 6 juta, itu kalau direalisasikan ke pembelian tongkat itu bisa jadi 10 tongkat," tegasnya.
Sepak Bola Amputasi Diantara Stigma dan Paradigma
Tak hanya stigma negatif yang menempal pada penyandang disabilitas, rekanan Yudhi dkk, masih dihadapkan oleh paradigma masyarakat yang mengesampingkan kaum marjinal.
Meski sudah diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang disabilitas, dalam hal ini PSAI menilai, masih jauh dari implementasi di kehidupan sehari-hari.
Dalam undang-undang itu pun dijelaslkan secara gamblang bahwa penyandang disabilitas memiliki hak, kesempatan dan menjungjung kesetaraan.
"Kembali lagi ke paradigma ya, walaupun secara undang-undang sudah ada, tapi secara implementasi masih sangat minim," ucap Yudhi.
"Kemudian paradigma masyarakat terhadap disabilitas kan masih cukup rendah, makanya itu yang masih menjadi persoalan juga untuk kami," sambungnya.
Persoalannya tak sampai di situ, Pria yang kesehariannya juga bekerja di organisasi sosial nirlaba juga itu mengatakan, ada dinamika lain yang timbul dari sisi sang penyandang disabilitas.
Yudhi pun tak menampik jika penyandang disabilitas pasti memiliki tipikal untuk menutup diri, buih dari stigma yang menempel kepadanya.
"Kembali lagi, mereka (penyandang disabilitas) mau terbuka dengan situasi atau yang kami harpkan itu menjadi inklusif bukan eksklusif. Sampai sejauh mana mereka ingin membuka dirinya untuk bersosialisasi dengan orang-orang non-disabilitas," tutur Yudhi.