TRIBUNNEWS.COM - Tragedi Kanjuruhan usai laga Arema FC vs Persebaya pada (1/10/2022) membuat sepakbola Indonesia disorot dunia.
Tragedi Kanjuruhan tersebut menewaskan 131 orang berdasarkan data Posko Postmortem Crisis Center pada Kamis, pukul 09.00 WIB.
Media ternama dari Amerika Serikat, New York Times memberikan sorotan khusus perihal kinerja Polisi di tragedi Kanjuruhan.
Baca juga: LPSK Minta Perekam Video Tragedi Kanjuruhan yang Diduga Sempat Diculik Segera Ajukan Perlindungan
New York Times berpendapat, kepolisian Indonesia sangat termiliterisasi dan kurang terlatih perihal mengendalikan massa.
Tak hanya itu, keterangan para ahli yang diwawancara New York Times juga menyebutkan bahwa polisi Indonesia tidak pernah diminta pertanggung jawaban.
Banyak ahli menyebutkan bahwa gas air mata menjadi faktor utama banyaknya nyawa yang melayang dalam tragedi Kanjuruhan.
Namun, hingga saat ini, tak ada langkah untuk memproses hukum terhadap polisi yang menembakkan gas air mata ke penonton.
New York Times menyebut, selama bertahun-tahun, ribuan orang Indonesia telah berhadapan dengan kepolisian yang korup.
Menurut mereka, Polisi juga selalu menggunakan kekerasan guna menekan massa, dan tidak bertanggung jawab kepada siapapun.
Dan benar saja, kejadian di Kanjuruhan menjadi contoh nyata wajah kepolisian Indonesia.
Polisi tanpa ampun memukuli Aremania dengan tongkat hingga perisai.
Penyemprotan gas air mata juga mereka lakukan secara brutal ke arah penonton yang tak terlibat dalam kerusuhan.
Aksi tersebut membuat ribuan Aremania panik dan mengalami sesak nafas.
Mereka berlarian ke arah pintu keluar yang ternyata masih tertutup rapat meski pertandingan sudah usai.
Jacqui Baker, seorang ekonom politik di Murdoch University di Perth, Australia memberi keterangan yang menohok terkait kerja polisi di indonesia.
Jacqui Baker mengatakan, tragedi Kanjuruhan mengungkap masalah sistemik yang dihadapi polisi.
Banyak diantara mereka yang kurang terlatih dalam pengendalian massa dan terlalu militeristik.
Dalam hampir semua kasus di Indonesia, polisi tak pernah dimintai pertanggung jawaban atas kesalahan yang dilakukan.
"Bagi saya, ini benar-benar fungsi dari kegagalan reformasi kepolisian di Indonesia," kata Jacqui Baker.
Selama lebih dari dua dekade, aktivis HAM dan ombudsman pemerintah telah melakukan penyelidikan atas tindakan polisi Indonesia.
Namun, laporan-laporan yang dilayangkan, menurut Baker, sering sampai ke kepala polisi, tetapi tidak berpengaruh sama sekali.
"Mengapa kita terus dihadapkan dengan impunitas?" katanya.
"Karena tidak ada kepentingan politik untuk benar-benar mewujudkan kepolisian yang profesional," jelas Baker.
(Tribunnews.com/Deivor)