TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Tim Penyusun Statuta Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), Dali Tahir yang juga mantan anggota Komite Etik FIFA dan pendiri Liga Galatama turut merespon dorongan untuk dilakukannya Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI pasca tragedi Kanjuruhan.
Menurutnya ada kemarahan yang menyembul di sana. Ia sangat memahami, sebagai mantan praktisi sepakbola nasional, ia ikut melahirkan Arseto bersama Mas Sigit putra Pak Harto dan sebagai pengurus PSSI.
Ia mengalami berbagai momen krusial di organisasi sepakbola yang usianya jauh lebih tua dari republik. Jadi, ia paham betul situasinya.
“Saya menghargai pandangan tersebut. Tapi, maaf, Ali Sadikin yang di KLB 1980-an awal, tidak membuat PSSI menjadi lebih baik. Nurdin Halid digempur, didemo selama delapan bulan, juga tidak membuat PSSI menjadi baik. Mengapa? Karena dasar penggulingan itu emosi yang berlebih,” Dali Tahir.
Sebagai mantan praktisi sepakbola nasional, ia mengaku sangat menghargai itu. Namun, sebagai mantan anggota Komite Etika FIFA, ia juga mengajak melihat semua persoalan dengan jernih dan juga ingin mengajak semua pihak untuk taat aturan.
“Ada hukum positif. Kejarlah para pembuat masalah. Saat ini ada enam tersangka, apakah sudah cukup atau masih akan bertambah? Terus pantau itu,” ujarnya.
Selain itu, ada hukum sepakbola yakni statuta FIFA dan PSSI. Di sana diatur cara bagaimana mekanisme KLB.
Taati itu dengan baik dan simpan emosi serta kemarahan di dalam saku. Ratusan korban Kanjuruhan itu harus dihormati, bukan dijadikan yang berbeda.
“Karena, jangankan 134 jiwa, satu jiwa melayang tak akan sebanding ditukar dengan jabatan Ketum PSSI, jabatan esko. Satu jiwa terlalu besar untuk ditukar dengan apa pun,” tegasnya.
Dalam hal ini, ia ingin mengajak semua pihak menghargai dan menghormati para korban dengan melangkah di jalur yang benar. Jika melangkah dengan penuh emosi dan kemarahan, belum tentu juga dapat menghasilkan sesuatu yang terbaik.
FIFA itu punya prinsip, apa saja boleh terjadi, tapi sepakbola tidak boleh mati. Jika ada yang marah dan ada yang berkomentar seperti mengusir FIFA, ia justru bertanya, apakah sepakbola hidup tanpa FIFA. H
arus diingat bahwa pemilik sepakbola itu FIFA, hak patennya ada pada organisasi yang dilahirkan di Prancis dan bermarkas di Swiss.
“Jika FIFA tidak menggap para pengurus PSSI itu untuk mundur, ya begitu fakta yang ada. Sekali lagi, bukan berarti kita ingin melupakan korban dan penelusuran kasusnya. Semua harus tetap berada dalam koridor hukum sepakbola,” ujarnya.
Pastinya, dalam kepiluan ini ia tetap berdoa untuk para korban yang wafat dan yang saat ini masih terbujur di rumah sakit. Lalu, kemarahan sebesar apa pun tidak akan mengembalikan mereka yang sudah mengorbankan segalanya dalam tragedi 1 Oktober 2022 itu