TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - "Kalau mau jadi Ketua Umum PSSI tunggulah waktunya." Kalimat yang dilontarkan Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan di media sosial itu sangat dalam maknanya jika dicermati.
Itu bisa saja diartikan sebagai upaya dirinya untuk mempertahankan posisinya sebagai orang nomor satu di sepakbola Indonesia hingga berakhir masa kepengurusannya pada November 2023 mendatang atau merupakan sinyal kepada pihak yang berambisi menggantikan posisinya lewat pemaksaan Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI.
Pernyataan Ketum PSSI yang akrab disapa Iwan Bule itu juga menunjukkan kepada masyarakat sepakbola Indonesia, bahwa hatinya bukan terbuat dari "batu" dengan tidak mendengarkan pendapat pihak lain, serta begitu saja melepaskan tanggung jawabnya terhadap tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang.
Tak ada yang tahu apa yang berkecamuk dalam benaknya. Namun, Iwan Bule telah menunjukkan jika hatinya bukan terbuat dari "batu", melalui upayanya berada di Malang selama 8 hari mengunjungi dan memberikan bantuan terhadap korban setelah terjadinya tragedi Kanjuruhan. Bantuan itu pun kembali disalurkannya pada bulan November 2022 ini.
Hal tersebut diungkapkan pengamat sepkbola Dali Tahir kepada awak media pada Rabu (16/11/2022) yang juga menyerukan agar memberikan apresiasi dan rasa simpati terhadap Iwan Bule yang peduli terhadap korban Tragedi Kanjuruhan.
"Itu jelas menunjukkan bahwa hati Iwan Bule tidak terbuat dari "batu". Yang pasti, saya bisa merasakan kesedihannya dan juga beratnya beban yang harus dipikulnya akibat musibah tersebut. Dan, saya yakin Iwan Bule pasti punya program lain untuk membantu korban Tragedi Kanjuruhan sekaligus memperbaiki citra sepakbola dan pihak kepolisian di mata masyarakat Indonesia dan juga dunia," kata Dali Tahir.
Selain itu, Dali yang juga merupakan mantan anggota komite etik FIFA itu pun juga mengimbau bahwa tragedi Kanjuruhan untuk tidak dijadikan opini menggiring Iwan Bule agar bisa tersingkir dari posisinya melalui Kongres Luar Biasa (KLB), karena, statuta FIFA jelas menyebutkan jika KLB hanya bisa digelar atas permintaan 2/3 pemilik suara (voters) atau 1/2 plus satu anggota Komite Eksekutif PSSI sesuai statuta FIFA.
"Keputusan PSSI yang telah mengirimkan surat kepada FIFA soal permintaan KLB yang diumumkan secara resmi oleh Iwan Bule itu merupakan tindakan diluar dugaan. Padahal, Iwan Bule bisa saja bertahan karena secara aturan PSSI tidak bisa serta-merta disalahkan dengan tragedi Kanjuruhan karena pertandingan 2x45 menit tuntas tanpa insiden," ungkapnya.
Apa yang dilakukan Iwan Bule itu, kata Dali, harus dilihat secara jernih oleh masyarakat sepakbola terutama pihak-pihak yang berambisi menjatuhkannya, karena PSSI selama kepemimpinannya tak melakukan pelanggaran statuta, namun mampu menaikkan peringkat di FIFA.
"Yang ada, bukan hanya kompetisi yang merupakan ujung tombak pembinaan bisa berjalan, tetapi PSSI juga mampu meningkatkan prestasi Timnas Indonesia pada peringkat FIFA serta prestasi lainnya di kelompok umur," ucapnya.
"Saya juga tidak paham apa yang ada dalam benak pihak-pihak yang mencoba mengiring opini menyingkirkan Iwan Bule dengan terus mendengungkan KLB, bahkan mulai membentuk opini siapa yang paling pantas menggantikannya lewat survei. Lantas pernahkah mereka berpikir jika posisinya seperti Iwan Bule dipaksa melepaskan jabatan dengan menabrak statuta FIFA dan tidak diberikan kesempatan untuk berbuat baik dan memikirkan kelanjutan nasib anak-anak dari korban Tragedi Kanjuruhan yang butuh uluran tangan dalam mencapai cita-citanya. Bagaimana jika hal itu terjadi pada mereka. Ini bukan hanya menutup niat baik Iwan Bule tetapi juga mengukirkan tinta hitam kepadanya dan juga anak cucunya ke depan," jelas Dali Tahir.
Yang perlu menjadi catatan, kata Dali Tahir, Iwan Bule, tidak pernah mengeluarkan pernyataan dengan menyalahkan pihak lain atas tragedi Kanjuruhan. Yang ada Tim Gabungan Investigasi Pencari Fakta (TGIPF) bentukan pemerintah pimpinan Menkopolhukam, Mahfud MD yang mengeluarkan pernyataan penyebab tewasnya penonton, yakni gas air mata yang dilepaskan petugas kepolisian.