TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Serangan 'ransomware wannacry' beberapa waktu lalu diakui Kominfo turut andil mendorong lahirnya Badan Siber dan Sandi Negara.
Bahkan karena sangat berbahayanya serangan 'wannacry' tersebut, Kominfo harus mengeluarkan himbauan untuk melakukan setting pada komputer masyarakat.
Namun dari penelitian yang dilakukan CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) yang dilakukan di sembilan kota besar tanah air, praktis hanya ada 33% masyarakat yang mengikuti himbauan dari Kominfo.
Ini juga menjelaskan bahwa masyarakat kita di perkotaan sebenarnya masih enggan untuk melakukan pengamanan pada aset yang terkoneksi ke wilayah siber. Tujuan riset ini untuk mengukur kesadaran keamanan informasi masyarakat.
Dalam pemaparan hasil risetnya di Jakarta, Rabu (14/6/2017), pakar keamanan siber yang juga Chairman CISSReC Pratama Persadha menjelaskan ada kecenderungan masyarakat kita enggan untuk melakukan pengamanan siber secara mandiri.
Ini bisa disebabkan oleh masyarakat yang memang belum merasakan langsung akibat serangan siber maupun dorongan dari pemerintah yang harus lebih kuat lagi.
“Selain wannacry, hasil riset kami juga menyebutkan sebenarnya masyarakat di kota besar tanah air sudah menyadari ada resiko keamanan pada SMS dan internet banking perbankan, juga e-commerce. Namun disaat yang sama hanya ada 25% masyarakat yang tahu resiko ATM kita yang sebagian besar Windows XP. Ini tentu situasi yang tidak bagus,” jelas Pratama.
Windows XP sendiri dukungan keamanannya sudah dihentikan oleh Microsoft sejak 2013. Ini jelas meningkatkan resiko keamanan di ATM-ATM kita.
Ini yang menjadi alasan banyaknya tindak kejahatan skimming pada ATM di tanah air, dan uniknya banyak pelakunya berasal dari warga negara asing.
Dari hasil riset 57% responden menjawab tidak yakin dengan keamanan SMS/internet banking di Indonesia. Hanya 43% responden yang menjawab yakin dengan keamanan SMS/internet banking di Indonesia.
Lalu 66% menjawab tidak yakin dengan keamanan e-commerce di Indonesia. Masih ada 34% responden yang merasa yakin dengan keamanan e-commerce di Indonesia.
Terlihat 74% dari responden menyatakan bahwa mereka paham dan sadar bahwa memasukkan data pribadi ke aplikasi atau layanan online berpotensi mengganggu privasi.
Sebanyak 13%-nya mengatakan tidak masalah sementara sisanya yang 13% menyatakan tidak tahu.
Adapun 75% responden menjawab tidak pernah menjadi korban peretasan akun e-mail dan media sosial. Dan 19 % menjawab pernah menjadi korban peretasan. Sisanya menjawab tidak tahu apakah pernah mengalami peretasan akun e-mail dan media sosial.
Dimana 81% responden menganggap privasi sangat penting untuk dilindungi. 4% tidak menganggap perlindungan privasi penting dan 14% menganggap tidak tahu apakah perlindungan privasi itu penting atau tidak.
Dengan beberapa fakta diatas, jelas Pratama, pemerintah wajib mendorong industri perbankan dan semua sektor yang menggunakan sistem informasi elektronik untuk meningkatkan keamanan sistemnya.
Ini semua wajib dilakukan agar keraguan masyarakat bisa dieliminir dan otomatis meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat.
“Jadi kita berharap dengan adanya BSSN, pemerintah bisa mendorong dua hal sekaligus. Pertama mendorong kesadaran keamanan siber di masyarakat. Kepahaman resiko keamanan dan privasi di perkotaan sudah ada, tinggal pemerintah mendorong ada aksi dari masyarakat untuk mengamankan aset siber mereka sendiri. Lalu kedua, pemerintah mendorong semua instansi pemerintah dan swasta untuk meningkatkan keamanan sistem informasi elektronik. Dua hal ini tidak hanya akan mendorong ekonomi lebih cepat, tapi juga stabilitas politik dan kedaulatan nasional,” terang Pratama.
Populasi survei ini adalah warga negara Indonesia di 9 kota besar meliputi DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Palembang, Bali dan Makasar. Survei ini menggunakan metode stratified multistage random sampling.
Jumlah sampel dalam survei ini adalah 400 responden dengan margin of error 4.9 % pada tingkat kepercayaan 95%.
Metode pengumpulan data adalah responden terpilih diwawancara secara tatap muka menggunakan kuesioner oleh pewawancara yang telah dilatih.
Kendali mutu survei adalah pewawancara lapangan minimal mahasiswa atau sederajat dan mendapatkan pelatihan (workshop) secara intensif di setiap pelaksanaan survei. Pengambilan data survei (penentuan responden dan wawancara di lapangan) dilaksanakan pada 1-9 Juni 2017.