TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebuah hasil studi tentang keamanan dunia siber oleh Microsoft dan Frost & Sullivan mendapati data bahwa potensi kerugian ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh insiden keamanan siber dapat mencapai nilai 34,2 miliar dolar AS.
Angka tersebut setara dengan 3,7 persen jumlah total PDB Indonesia sebesar 932 miliar dolar AS.
.
Selain kerugian finansial, insiden keamanan siber juga mengurangi kemampuan berbagai organisasi
di Indonesia untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada diera ekonomi digital saat ini.
Tiga dari lima responden menyatakan, perusahaan mereka telah menunda upaya
transformasi digital karena khawatir terhadap risiko-risiko siber.
Kekhawatiran tentang keamanan siber menghambat rencana transformasi digital yang semakin vital bagi perusahaan dengan diumumkannya rencana kerja “Making Indonesia 4.0” oleh Presiden Joko Widodo dan Kementerian Perindustrian.
Survei yang dipublikasikan di Jakarta, Kamis (24/5/2018) juga menyebutkan, serangan keamanan siber telah mengakibatkan hilangnya pekerjaan di hampir tujuh dari 10 atau 69 persen organisasi pada tahun 2017 lalu.
Mengantisipasi ini, banyak perusahaan kemudian memanfaatkan teknologi Artificial Intelligence
untuk memperkuat strategi keamanan sibernya.
Studi yang berjudul “Understanding the Cybersecurity Threat Landscape in Asia Pacific: Securing the
Modern Enterprise in a Digital World” bertujuan membagikan insight kepada pengambil kebijakan bisnis dan TI mengenai kerugian ekonomi oleh serangan siber di Asia dan Indonesia, dan mengidentifikasi celah pada strategi keamanan siber.
Studi melibatkan 1.300 pimpinan bisnis dan TI dari organisasi skala menengah (250-499 pekerja) hingga organisasi skala besar (> dari 500 pekerja).
Baca: Citilink Layani Penerbangan Via Bandara Kertajati Saat Peak Season Lebaran
“Ketika berbagai perusahaan kini menyambut peluang-peluang yang ditawarkan oleh komputasi
awan dan mobile untuk menjalin hubungan dengan pelanggan dan mengoptimalkan operasi
perusahaan, mereka menghadapi resiko-resiko baru,” kata Haris Izmee, Direktur Utama Microsoft
Indonesia.
Dengan batasan-batasan TI yang semakin menghilang, penjahat siber kini menemukan sasaran baru untuk diserang.
"Perusahaan menghadapi resiko kerugian finansial yang signifikan, dampak buruk pada sisi kepuasan pelanggan, dan penurunan reputasi di pasaran, seperti yang telah terlihat secara jelas pada kasus-kasus serangan tingkat tinggi belakangan ini,” lanjut Haris.
Hazmi Yusof, Managing Director Frost & Sullivan Malaysia dan SVP Frost & Sullivan Asia-Pacific mengatakan, meski kerugian langsung serangan siber merupakan yang paling nyata, hal tersebut hanyalah seperti ujung puncak gunung es.
“Ada banyak kerugian-kerugian tersembunyi lainnya yang harus kita pertimbangkan dari sisi indirect dan induced, dan kerugian ekonomi setiap organisasi yang mengalami serangan keamanan siber seringkali diabaikan,” kata dia.
Mengantisipasi ancaman siber secara konstan berubah-ubah dan latar serangan yang
semakin meluas, AI kini diandalkan untuk mendeteksi dan bertindak terhadap vektor ancaman berdasarkan pada data insight.
Kemampuan AI untuk menganalisa dan merespon secara cepat pada data dengan jumlah yang
sangat banyak kini semakin diperlukan di dunia dimana frekuensi, skala, dan kecanggihan serangan
siber semakin meningkat.