TRIBUNNEWS.COM -- Banyaknya kartu prabayar yang dijual langsung aktif atau tanpa melalui registrasi yang benar, membuat banyak pihak khawatir. Terlebih lagi kartu prabayar yang dijual tersebut banyak dipergunakan untuk melakukan tindak pidana.
Maraknya penjualan kartu prabayar yang didaftarkan dengan menggunakan No Induk Kependudukan (NIK) dan No Kartu Keluarga (NKK) yang tidak sah tersebut mendorong Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengeluarkan Surat Edaran BRTI No 01 tahun 2018 dan Surat Ketetapan BRTI No 3 tahun 2008 tentang Larangan Penggunaan Data Kependudukan Tanpa Hak atau Melawan Hukum untuk Keperluan Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi.
Dalam aturan yang dikeluarkan tanggal 21 November yang lalu, BRTI mengajak Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri) untuk menindak setiap pelanggaran yang terjadi karena menggunakan data kependudukan tanpa hak untuk keperluan registrasi kartu prabayar.
Sabirin Mochtar, Direktur Pengendalian Pos dan Informatika Kementrian Komunikasi dan Informatika mengakui masih banyak NIK yang didaftarkan dengan jutaan nomer prabayar. Bahkan ada anak balita atau orang tua kelahiran tahun 1920 yang didaftarkan dengan lebih seratus nomer.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Kominfo hingga 30 November 2011, jumlah akses atau hits yang berhasil masuk ke Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (DUKCAPIL) mencapai 1,7 juta perhari.
Bahkan setiap hari menunjukkan trend peningkatan. Kominfo juga menemukan kasus dimana satu NIK didaftarkan lebih dari 50 ribu SIM Card dalam satu detik. Sabirin berharap dengan adanya surat edaran dan ketetapan BRTI ini, jumlah akses dan penyalahgunaan NIK untuk registrasi prabayar mengalami penurunan.
“Seharusnya dengan skema bisnis berbasis pulsa dan penjualan nomer baru sudah mengalami penurunan. Saya heran juga kenapa hingga saat ini penjualan kartu perdana masih naik,”ujar Sabirin dalam keterangannya di Jakarta.
Komisaris Besar Polisi Asep Safrudin, Wakil Direktur Tindak Pidana Siber Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri) mengatakan, polisi ikut dalam menangani masalah registrasi prabayar dikarenakan tingginya penyalahgunaan NIK untuk melakukan registrasi kartu prabayar. Kartu prabayar yang didaftarkan menggunakan NIK yang tidak sah tersebut banyak dipergunakan untuk tindak pidana.
Lebih lanjut Asep menjelaskan polisi tidak memiliki niat sedikitpun untuk mengganggu iklim bisnis yang ada di industri telekomunikasi.
Namun polisi ingin agar bisnis yang dijalankan oleh pelaku usaha di industri telekomunikasi tak hanya mementingkan keuntungan semata, tetapi juga harus sesuai dengan koridor hukum yang berlaku di Indonesia.
“Tindakan kejahatan akibat penyalahgunaan NIK untuk registrasi prabayar ini, merupakan dampak dari pengaturan yang tidak teratur. Karena banyaknya tindak pidana yang menggunakan handphone dengan kartu prabayar yang didaftarkan menggunakan NIK yang tidak sah tersebut, membuat negara melalui Polri hadir untuk melindungi masyarakat,”papar Asep.
Asep menegaskan hadirnya polisi dalam registrasi prabayar ini bukan untuk menakut-nakuti pelaku usaha. Tujuan Polri hadir dalam registrasi prabayar semata-mata untuk menyelamatkan masyarakat agar tak menjadi korban atas kelalaian pelaku usaha dan regulator di industri telekomunikasi.
Kehadiran Polri dalam registrasi prabayar ini juga bertujuan mencegah masyarakat menjadi pelaku kejahatan dengan menggunakan kartu prabayar yang didaftarkan dengan NIK yang tidak sah.
“Melakukan registrasi prabayar atas nama orang lain itu jelas-jelas salah dan melanggar hukum. Ancaman hukumannya juga sangat jelas. Untuk mencegah tindak pidana dan menegakkan hukum Polri tak bisa bekerja sendiri. Kami membutuhkan dukungan dari Kominfo, BRTI, operator telekomunikasi, pelaku usaha telekomunikasi dan seluruh lapisan masyarakat,”terang Asep.
Berdasarkan penyelidikan Bareskrim yang dilakukan selama 9 bulan terakhir, masih ada lonjakkan yang luar biasa terkait NIK yang dipergunakan untuk meregistrasi kartu prabayar. Bareskrim menemukan ada satu NIK dipergunakan untuk mendaftarkan jutaan nomer prabayar. Asep menjelaskan saat ini Polri sudah memiliki data yang akurat dari tingkat outlet hingga pihak provider telekomunikasi yang terindikasi nakal dengan mendaftarkan satu NIK untuk jutaan nomer prabayar.
Asep menjelaskan dengan adanya surat edaran dan ketetapan BRTI tersebut, Polri bisa melakukan penindakan. Peyalahgunaan data kependudukan untuk melakukan registrasi prabayar bisa diancam pidana melalui UU ITE pasal 35 dengan ancaman hukuman 12 tahun.
“Jika ada pihak-pihak yang turut serta membantu tindak pidana penyalahgunaan NIK untuk registrasi prabayar akan diancam KUHP pasal 55. Sehingga jika ditemukan dealer, provider bahkan regulator yang ikut serta dalam penyalahgunaan NIK untuk registrasi prabayar ini akan diancam dengan hukuman pidana. Saat ini Polri tak akan mentolerir pihak-pihak yang menggunakan SIM Card untuk kejahatan atas kelalaian atau atas unsur kesengajaan dari pelaku bisnis telekomunikasi,”kata Asep.
Selain diancam menggunakan UU ITE, penyalahgunaan data kependudukan untuk kegiatan registrasi prabayar juga akan diancam dengan UU Administrasi Data Kependudukan dengan ancaman hukuman paling lama 10 tahun dan denda Rp 1 miliar.