TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo telah meresmikan beroperasinya MRT di Jakarta. Meski akan komersial awal April mendatang, namun masih ada beberapa kendala yang menggangu kenyamanan penggunanya.
Salah satunya adalah sulitnya sarana telekomunikasi di rute MRT.
Khususnya di jalur bawah tanah MRT. Ini disebabkan masih banyak operator yang engan untuk memasang jaringannya di jalur bawah tanah MRT.
Masih banyaknya operator yang engan untuk membangun jaringan telekomunikasi juga dikritisi oleh Enny Sri Hartati. Direktur Eksekutif The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).
Menurut Enny sudah seharusnya seluruh masyarakat dan dunia usaha mendukung program strategis nasional termasuk keberadaan layanan MRT di Jakarta.
Enny menilai proyek MRT merupakan program strategis nasional dan awal di bidang transportasi masal moderen. Harusnya perusahaan telekomunikasi mau berkontribusi di program pemerintah tersebut dengan membangun jaringan telekomunikasi di sepanjang jalur MRT.
“Pemerintah tentunya membutuhkan kontribusi serta dukungan semua pihak termasuk perusahaan telekomunikasi. Seharusnya perusahaan telekomunikasi mau membangun jaringan telekomunikasi di MRT. Tujuannya agar masyarakat mendapatkan kenyamanan dalam berkomunikasi dan tertarik untuk menggunakan layanan umum seperti MRT,”terang Enny.
Enny mendengar jika engannya operator untuk masuk di jalur MRT disebabkan tingginya biaya instalasi jaringan sepanjang jalur MRT. Namun menurut ekonom ini, seharusnya PT MRT Indonesia dan Tower Bersama dapat transparan kepada publik berapa sebenarnya biaya yang dikenakan untuk setiap operator.
Menurut kalkulasi Enny, seharusnya dengan banyak operator yang tertarik membangun jaringan sepanjang jalur MRT, komponen biaya yang ditanggung oleh masing-masing operator akan berkurang. Karena biaya pembangunan jaringan telekomunikasi di MRT ditanggung renteng oleh seluruh operator.
“Jika memang harga sudah transparan disampaikan oleh PT MRT dan Tower Bersama namun masih ada operator yang tak sanggup membayar, maka operator tersebut tak boleh komplain. Apa lagi menuduh jika ada monopoli oleh salah satu operator. Selain itu pelanggan yang tak mendapatkan layanan telekomunikasi di MRT juga tidak boleh komplain ke pemerintah. Tetapi komplain ke operator mereka yang tak mau investasi di jalur MRT,”terang Enny.
Enny memberikan contoh. Beberapa tahun yang lalu ada operator yang tak mau membangun di daerah. Mereka tak mau membangun lantaran daerah tersebut tak menguntungkan. Mereka hanya mengejar pembangunan di daerah yang menguntungkan saja.
Namun setelah daerah tersebut berkembang dan menguntungkan dari segi bisnis, operator yang tadinya engan untuk membangun justru kini mereka getol meminta sharing.
“Kelakuan ini sangat aneh. Mereka engan untuk sharing investasi ketika awal-awal pembangunan. Namun kini setelah daerah tersebut tumbuh mereka meminta sharing. Itu tidak adil,”terang Enny.
Diakui Enny, memang operator sebagai badan usaha selalu berfikir benefit dan cost. Berbeda dengan Telkom dan Telkomsel yang diminta selalu hadir untuk mewakili negara. Mereka harus terus berinvestasi meski dalam jangka pendek belum menguntungkan.
Sedangkan operator lain hanya investasi di daerah yang menguntungkan saja.
“Perbedaan ini membuat Telkom dan Telkomsel tidak bisa melakukan perang tarif. Namun operator lain tidak demikian. Dengan engannya mereka investasi di tempat yang tidak menguntungkan, opportunity operator lain untuk menggunakan tools perang tarif akan semakin besar. Dari pada mereka investasi, mending dipakai untuk akusisi pelanggan dengan perang tarif. Ini sangat tidak fair,”papar Enny.
Disampaikan Enny, sebenarnya kompetisi itu bagus. Karena akan menguntungkan konsumen dan mendorong efisiensi serta optimalisasi.
Namun perang tarif yang saat ini terjadi di industri telekomunikasi nasional sudah kebablasan. Karena sudah menimbulkan ketidak adilan yang bisa menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat dan negara.
Lanjut Enny, saat ini kerugiannya tersebut sudah nampak, yaitu tidak adanya pemerataan layanan telekomunikasi. Saat ini operator yang mampu dan mau investasi serta mendukung program pemerintah hanya BUMN telekomunikasi saja. Mereka mau investasi di daerah terpencil dan tidak menguntungkan. Seperti investasi yang tak menguntungkan di jalur MRT.
“Perang tarif yang saat ini terjadi sudah menimbulkan kerugian sosial. Karena operator tak mampu mendukung program pemerintah dalam pemerataan layanan dan jaringan telekomunikasi. Bahkan operator tak mampu lagi mendukung secara optimal program strategis nasional seperti menyediakan layanan telekomunikasi di jalur MRT,”terang Enny.
Enny meminta agar Kementrian Komunikasi dan Informatika untuk segera ‘menjinakkan’ perang tarif di industri telekomunikasi. Sehingga operator telekomunkasi memiliki kemampuan untuk mendukung program strategis nasional.
“Kita harus menjaga keseimbangan antara dunia usaha, masyarakat dan kepentingan nasional,”pungkas Enny.