TRIBUNNEWS.COM - Di Hari Disabilitas Internasional yang berlangsung 3 Desember 2019 lalu, salah satu penyandang Frendy Anzhar menceritakan terkait kondisinya. Pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur ini mengaku sejak lahir, tubuhnya lahir dengan kondisi yang normal.
Ketika menginjak bangku SMP, pendengarannya mulai mengalami penurunan. Bahkan, dokter mengatakan, ia didiagnosa mengalami gangguan syaraf. Karena penyakit yang dialaminya, dokter menyarankan agar Frendy segera dioperasi.
Bukan perkara mudah untuk melakukan operasi. Pasalnya, faktor finansial menjadi salah satu masalah yang menyebabkan dirinya urung untuk melakukan saran dokter.
“Waktu itu, dokter menyarankan saya operasi, tapi karena biayanya mahal sekitar 250 juta, jadi ya saya urungkan, hingga sekarang saya tidak bisa mendengar,” kata Frendy pada Selasa (3/12/2019).
Tak jauh berbeda dengan Frendy, salah satu penyandang disabilitas Fitri Maulidina menceritakan dirinya sejak lahir sudah mengalami gangguan pada telinga.
Meskipun mengalami keterbatasan sejak lahir, Fitri tidak mau menyerah terhadap keadaan. Hal tersebut disebabkan, karena ia memiliki tekad untuk mandiri dan ingin mempunyai penghasilan sendiri.
Untuk mewujudkan hal tersebut, sejak 2018, Fitri memutuskan untuk bergabung dengan GoClean yang merupakan salah satu fitur dari Gojek.
“Saya memilih bekerja sebagai mitra GoClean karena saya hanya bisa bersih-bersih. Tapi saya juga senang sekali bersih-bersih, lumayan juga jadi ada penghasilan buat orang tua saya,” ujar Fitri dibantu penerjemah bahasa.
Meskipun tak mampu berbicara dan mendengar, Fitri tidak kehabisan akal. Ia memanfaatkan secarik kertas untuk melakukan komunikasi dengan pelanggannya.
Kisah Fitri dan Frendy merupakan salah satu dari banyak kisah penyandang difabel yang tergabung dalam keluarga Gojek. Tak sampai di situ, di Hari Disabilitas Internasional, Gojek juga tersebut menekan komitmen berkelanjutan untuk menghilangkan batas terhadap mitra penyandang difabel.
Melalui gerakan #BeraniSama, perusahaan Karya Anak Bangsa mengajak para mitra serta konsumen untuk menghilangkan batasan-batasan yang ada.
“Gerakan #BeraniSama merupakan inisiatif komitmen berkelanjutan kami untuk meningkatkan kesejahteraan bagi siapapun melalui pemanfaatan teknologi,” ujar VP Marketing of GoLife, Yuanita Agata pada Rabu (3/12/2019).
Tahukah Anda? Untuk merealisasikan misi besar tersebut, semua mitra yang tergabung di GoLife termasuk mitra difabel mendapatkan berbagai program pelatihan, tanpa dibedakan.
Untuk lebih memaksimal program pelatihan, Gojek membaginya menjadi dua, yaitu On-boarding training dan Refreshment training.
Melalui Onboarding training, pelatihan yang diberikan saat awal mula mitra bergabung menjadi keluarga GoLife. Sementara itu, untuk Refreshment training, mitra akan diberikan pelatihan setiap bulannya untuk meningkatkan kemampuan yang dimiliki.
Selain itu, seluruh mitra difabel yang bergabung di dalam GoLife dibekali dengan program pelatihan dan SOP yang sama dengan mitra normal lainnya. Langkah tersebut dilakukan untuk memberikan pembekalan skill tanpa melihat perbedaan.
Kami memahami bahwa masih ada sebagian masyarakat atau konsumen yang meragukan dengan kemampuan para mitra penyandang difabel. Melalui kampanye #BeraniSama, kami ingin mengajak para mitra untuk menunjukkan kemampuannya dalam memberikan pelayanan terbaiknya walaupun dengan keterbatasan yang dimilikinya.” ujar Yuanita.
Untuk mensukseskan misi tersebut, Yuanita mengajak kepada seluruh pengguna untuk sama-sama menghilangkan batas serta berani memberikan pandangan dan mampu bersikap sama serta tidak lagi membeda-bedakan antara mitra penyandang difabel dan normal.
Program serupa
Komitmen Gojek untuk memberikan perhatian lebih kepada penyandang difabel bukan tahun ini saja dilaksanakan. Namun, pada 2018 lalu, kampanye gerakan sosial #HilangkanBatasan sukses terlaksana.
Hal tersebut dibuktikan dari data internal Gojek yang menyatakan, lebih dari 90% pengguna GoLife merasa puas dengan pelayanan yang diberikan mitra penyandang difabel, dimana rata-rata mendapatkan rating 4.7
Perespon positif terhadap program tersebut, terjadi pula peningkatan rata-rata jam produktivitas mitra hingga lebih dari 50%. Bahkan dari segi pendapatan, para mitra juga mengalami peningkatan hingga 40%.
Melalui program tersebut jumlah mitra difabel juga mengalami peningkatan nyaris tiga kali lipat yang tersebar di berbagai kota, seperti Jabodetabek, Bali, Balikpapan, Bandar Lampung, Bandung, Banjarmasin, Malang, Palembang, Pekanbaru, Serang, Surabaya, Tasikmalaya, dan Yogyakarta.
Penulis: Dea Duta Aulia