TRIBUNNEWS.COM -- Hingga saat ini Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika masih belum menyelesaikan petunjuk teknis (juknis pelaksanaan dari peraturan menteri yang dibuat pada akhir tahun 2019 yang lalu.
Padahal, tenggat waktu pemberlakukan regulasi mengenai pembatasan International Mobile Equipment Identity (IMEI) illegal berlaku efektif 18 April 2020.
Mandeknya pembahasan aturan teknis tersebut dikarenakan adanya dua pendapat mengenai pelaksaan aturan pembatasan tersebut.
Diperkirakan ada pihak yang menginginkan menggunakan metode whitelist dan ada pihak lain yang menginginkan menggunakan blacklist.
Danny Buldansyah, Wakil Direktur Utama PT Hutchison 3 Indonesia menilai baik itu whitelist maupun blacklist memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Baca: HARI INI Pemerintah Mulai Lakukan Uji Coba Pemblokiran Ponsel BM via IMEI
Baca: Blokir Ponsel Ilegal Lewat IMEI Akan Diujicoba Senin Lusa
Konsep whitelist dimana IMEI adalah semua IMEI yang tidak tercatat dalam Sistem Informasi Basis Database IMEI Nasional (SIBINA) tidak akan bisa dipergunakan oleh operator di Indonesia.
Sedangkan sistim blacklist adalah semua IMEI yang ada di Indonesia dapat beroperasi terlebih dahulu. Setelah kurun waktu beberapa hari IMEI yang tak terdaftar di SIBINA akan diblokir.
“Semua sistim ada untung dan ruginya masing masing. Selama bisa dipertanggung jawabkan maka H3I akan menjalankan apa yang diperintahkan oleh pemerintah. Oleh sebab itu kita harus mencari jalan terbaik agar program pemerintah untuk menangkal HP illegal dapat tercapai dan konsumen tidak ada yang dirugikan. Pertikaian ini tak perlu dibesar-besarkan,” terang Danny di Jakarta belum lama ini.
Oleh sebab itu pemerintah harus segera membuat use case dan harus menjalankan proof of concept dari dua mazhab pembatasan IMEI tersebut.
Karena pengguna telekomunikasi ada yang membeli melalui layanan on line, pembelian melalui off line dan pengguna roaming. Tujuannya agar tidak ada konsumen yang dirugikan akibat kebijakan ini.
Lanjut Danny, saat ini hanya ada dua negara yang melakukan pembatasan IMEI.
Meski ada dua mazhab pembatasan IMEI, Danny berharap polemik ini segera berakhir dan semua pihak harus mengutamakan perlindungan terhadap konsumen. Agar perlindungan konsumen ini menjadi perhatian, menurut Danny seharusnya pemerintah dapat menjelaskan secara rinci kepada publik dan memberikan kepastian jika ada konsumen yang baru membeli HP namun kenyataannya alat telekomunikasinya di blokir, maka itu tanggung jawab siapa.
“Karena ini kebijakan negara maka sudah seharusnya yang bertanggung jawab terhadap keluhan konsumen tersebut adalah pemerintah. Bukan kepada operator. Itu dahulu yang harus dijelaskan oleh pemerintah. Sehingga tidak terjadi kegaduhan di masyarakat harus ada yang tanggung jawab dan pemerintah harus tau itu. Jangan sampai nantinya lempar-lemparan dan saling menyalahkan,” terang Danny.
Danny juga berharap investasi yang dikeluarkan oleh operator dalam menjalankan regulasi pembatasan IMEI ini harus serendah mungkin. Jangan sampai ada operator yang terbebani dengan adanya regulasi pembatasan IMEI tersebut.
Baik itu whitelist maupun blacklist, menurut Danny operator telekomunikasi harus menganggarkan investasi untuk membeli EIR (Equipment Identity Register). Investasi yang dibutuhkan untuk pengadaan EIR tergantung requirement yang diperintahkan oleh Kemenkominfo dan vendor yang menyediakan perangkatnya.
Untuk whitelist dibutuhkan satu perangkat lagi yang dinamakan Central EIR. Menurut Danny operator central EIR ini harus ditetapkanoleh pemerintah. Sedangkan untuk yang blacklist itu menggunakan SIBINA.