Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, CALIFORNIA - Sosok mantan karyawan Facebook Francis Haugen kini jadi sorotan dunia. Dia blak-blakan membeber, memblejeti keburukan Facebook sebagai platform media sosial yang digunakan oleh ratusan juta orang di berbagai negara.
Namun faktanya banyak melakukan penyesatan publik, memicu ujaran kebencian, kekerasan dan misinformasi di mana-mana. Pemicu alias biang keroknya adalah kebijakan Facebook mengubah algoritmanya.
Sebelum membeberkan namanya sebagai karyawan anonim yang mengajukan laporan kepada penegak hukum federal Amerika Serikat (AS), nama Frances Haugen masih belum menjadi sorotan.
Meskipun sejak bulan lalu, Facebook sangat penasaran terkait siapa sosok yang berani mengambil penelitian internal perusahaannya.
Namun saat Francis Haugen mengakui bahwa dirinya yang melaporkan keluhan tersebut, inilah yang akhirnya membuat namanya tidak hanya disorot oleh raksasa jejaring sosial itu, namun juga dicari masyarakat dunia.
Frances Haugen memang menyampaikan keluhan terkait penelitian Facebook yang menunjukkan adanya 'penguatan ujaran kebencian, informasi yang salah dan kerusuhan politik', namun perusahaan itu ternyata menyembunyikan apa yang telah mereka ketahui.
Sebuah keluhan lainnya menuduh bahwa platform Instagram yang diakuisisi Facebook telah merugikan gadis remaja.
Baca juga: Layanan Down, Harga Saham Facebook Langsung Anjlok 5 Persen
Apa yang dikeluhkan Haugen ini memang belum pernah terjadi sebelumnya, karena ini adalah 'harta karun penelitian Facebook' yang ia ambil saat berhenti pada Mei lalu.
Dikutip dari CBS News, Selasa (5/10/2021), dokumen-dokumen itu muncul kali pertama pada bulan lalu di The Wall Street Journal.
Baca juga: Pakar Keamanan Siber: Gangguan Whatsapp, Facebook dan Instagram Diduga Karena Human Error
Namun pada Senin malam, Frances Haugen akhirnya mengungkapkan identitasnya untuk menjelaskan alasan mengapa dirinya menjadi pelapor Facebook.
"Hal yang saya lihat berulang kali di Facebook adalah adanya konflik kepentingan antara apa yang baik untuk publik dan apa yang baik untuk Facebook. Dan Facebook, berulang kali, memilih untuk mengoptimalkan untuk kepentingannya sendiri, seperti menghasilkan lebih banyak uang," kata Haugen, dalam wawancara blak-blakannya.
Baca juga: Facebook Down 6 Jam, Karyawan dan Kontraktor Tak Bisa Akses Alat Kerja
Haugen yang kini berusia 37 tahun itu merupakan seorang Ilmuwan Data dari Iowa, dengan gelar di bidang Teknik Komputer dan gelar master di Harvard pada bidang bisnis.
Selama 15 tahun ia juga memiliki pengalaman bekerja untuk perusahaan teknologi besar, termasuk Google dan Pinterest.
"Saya telah melihat banyak jejaring sosial, dan Facebook jauh lebih buruk dibandingkan apapun yang pernah saya lihat sebelumnya," tegas Haugen.
Ia merasa yakin dengan keputusannya untuk keluar dari Facebook, meskipun banyak orang di luar sana menginginkan posisinya atau sekadar bergabung di raksasa jejaring sosial itu.
"Bayangkan, anda tahu apa yang terjadi di dalam Facebook dan anda tidak tahu siapapun di luar sana, saya tahu seperti apa masa depan saya jika saya terus berada di dalam Facebook, orang demi orang telah mengatasi hal ini di dalam Facebook dan membumikan diri mereka sendiri," papar Haugen.
Baca juga: Facebook, Instagram, dan Whatsapp Pulih Kembali Setelah 6 Jam Tumbang
Ia kemudian menjelaskan kapan dan bagaimana dirinya bisa mengambil semua dokumen itu dari perusahaan tersebut. "Pada suatu saat di tahun 2021, saya menyadari 'Oke, saya harus melakukan ini secara sistemik'," tutur Haugen.
Francis Haugen secara diam-diam menyalin puluhan ribu halaman penelitian internal Facebook.
Dari amatannya atas halaman penelitian internal Facebook yang dia dapatkan, Francis Haugen menemukan bukti menunjukkan bahwa Facebook telah berbohong kepada publik tentang apa yang disebut 'membuat kemajuan yang signifikan' dalam melawan kebencian, kekerasan dan informasi yang salah.
Picu Kekerasan Etnis
Haugen kemudian membahas mengenai ujaran kebencian, pidato politik yang memecah belah, dan misinformasi.
"Ketika kita hidup di lingkungan informasi yang penuh dengan konten kemarahan, kebencian dan polarisasi, itu mengikis kepercayaan sipil kita dan mengikis kepercayaan kita satu sama lain," ujarnya.
Selain itu, juga "mengikis kemampuan kita untuk ingin saling peduli, versi Facebook yang ada saat ini menghancurkan masyarakat kita dan menyebabkan kekerasan etnis di seluruh dunia," jelas Haugen.
'Kekerasan etnis' yang dibahas itu termasuk yang terjadi di Myanmar pada 2018 lalu, saat militer negara itu menggunakan Facebook untuk meluncurkan 'genosida'.
Haugen menyampaikan kepada CBS News bahwa ia direkrut Facebook pada 2019.
Saat itu ia setuju untuk mengambil pekerjaan tersebut hanya jika dirinya bisa melawan informasi yang salah, karena Haugen telah kehilangan teman lantaran 'teori konspirasi online'.
"Saya tidak pernah ingin orang lain merasakan sakit yang saya rasakan. Dan saya telah melihat seberapa tinggi taruhannya dalam hal memastikan ada informasi yang berkualitas tinggi di Facebook," kata Haugen.
Di kantor pusat, Haugen ditugaskan ke Civic Integrity yang menangani risiko pemilu termasuk misinformasi, namun usai pemilu, ada titik balik yang terjadi.
"Mereka mengatakan kepada kami, 'Kami membubarkan Civic Integrity'. Seperti, pada dasarnya mereka berkata 'Oh bagus, kita berhasil melewati pemilu, tidak ada kerusuhan, kita bisa menyingkirkan Civic Integrity sekarang'. Lalu beberapa bulan kemudian, terjadi pemberontakan dan saat mereka menyingkirkan Civic Integrity, saat itulah saya merasa 'saya tidak percaya bahwa mereka benar-benar mau menginvestasikan apa yang perlu diinvestasikan agar Facebook tidak berbahaya'," papar Haugen.
Facebook mengatakan bahwa karya Civic Integrity didistribusikan ke unit lain.
Perubahan Algoritma Facebook Biangnya
Haugen menegaskan akar masalah Facebook terletak pada perubahan yang dibuatnya tahun 2018 pada algoritmenya, pemrograman yang menentukan apa yang anda lihat pada umpan berita di Facebook anda.
"Jadi, Anda tahu, Anda memegang gadget, Anda mungkin hanya melihat 100 konten jika Anda duduk dan mengeceknya selama lima menit. Namun Facebook memiliki ribuan opsi yang dapat ditunjukkan kepada Anda," tutur Haugen.
Algoritma memilih dari opsi tersebut berdasarkan jenis konten yang paling sering Anda gunakan sebelumnya.
"Dan salah satu konsekuensi dari cara Facebook memilih konten saat ini adalah mengoptimalkan konten yang memperoleh keterlibatan atau reaksi. Namun penelitiannya sendiri menunjukkan bahwa konten yang penuh kebencian, memecah belah, mempolarisasi, lebih mudah menginspirasi orang untuk marah dibandingkan emosi lainnya," tegas Haugen.
Hal ini, kata dia, sebenarnya telah disadari oleh manajemen Facebook, namun justru mereka cenderung menutup mata.
"Sangat menarik, Facebook telah menyadari bahwa jika mereka mengubah algoritme menjadi lebih aman, orang akan menghabiskan lebih sedikit waktu di situs itu, mereka akan mengklik lebih sedikit iklan, dan Facebook akan menghasilkan lebih sedikit uang," jelas Haugen.
Haugen pun menegaskan bahwa Facebook sebenarnya telah memahami bahaya Pemilu 2020.
Sehingga saat itu, ia yang tergabung dalam Civic Integrity, mengaktifkan sistem keamanan untuk mengurangi kesalahan informasi.
Namun banyak dari perubahan itu ternyata hanya bersifat sementara.
"Dan segera setelah pemilihan selesai, mereka (Facebook) mematikannya atau mengubah kembali pengaturan seperti sebelumnya, untuk memprioritaskan pertumbuhan daripada keamanan. Dan itu benar-benar terasa seperti pengkhianatan demokrasi bagi saya," tegas Haugen.
Ia kembali menjelaskan bahwa Facebook mengatakan beberapa sistem keamanan akan tetap ada. Namun setelah pemilu, jejaring sosial itu digunakan oleh beberapa orang untuk mengorganisir pemberontakan pada 6 Januari lalu.
Jaksa di AS mengutip postingan Facebook sebagai bukti, yakni foto-foto partisan bersenjata, termasuk teks bernada kemarahan.
Ekstremis menggunakan banyak platform, namun Facebook adalah 'tema yang digunakan secara berulang'. Setelah serangan itu, karyawan Facebook mengamuk di papan pesan internal yang disalin oleh Haugen.
"Apakah kita tidak punya cukup waktu untuk memikirkan bagaimana mengelola wacana tanpa memungkinkan kekerasan?," papar Haugen, menirukan apa yang disampaikan beberapa karyawan.
Menurutnya, tidak ada seorang pun yang terlahir 'jahat' di platform itu, namun kondisi dan situasi yang menciptakannya.
'Ini salah satu konsekuensi yang tidak menguntungkan, bukan? Tidak ada seorang pun di Facebook yang jahat, namun insentifnya tidak selaras, bukan? Seperti Facebook yang menghasilkan lebih banyak uang saat anda mengkonsumsi lebih banyak konten," ujar Haugen.
"Orang-orang senang terlibat dengan hal-hal yang menimbulkan reaksi emosional. Dan semakin banyak kemarahan yang mereka hadapi, maka semakin mereka berinteraksi dan semakin banyak yang mereka konsumsi," tegas Haugen.
Dinamika itulah yang menyebabkan Facebook dibombardir keluhan dari partai-partai politik besar di seluruh Eropa.
Laporan internal 2019 yang diperoleh Haugen ini mengatakan bahwa para pihak tersebut merasa bahwa perubahan pada algoritme telah memaksa mereka untuk cenderung terlihat negatif dalam berkomunikasi di Facebook, dan ini membawa mereka ke posisi kebijakan yang lebih ekstrem.
Saat ditanya terkait keluhan partai-partai politik Eropa yang pada dasarnya mengatakan kepada Facebook bahwa 'cara anda menulis algoritme telah mengubah cara kami dalam memimpin negara kami', Haugen menyampaikan bahwa perusahaan terpaksa melakukan hal itu untuk memenangkan persaingan media sosial.
"Ya Anda memaksa kami untuk mengambil posisi yang tidak kami sukai, yang memang kami tahu buruk bagi masyarakat. Kami tahu jika kami tidak mengambil posisi itu, kami tidak akan menang di pasar media sosial," tegas Haugen.
Menariknya, bukti kerusakan ini juga disebut meluas ke aplikasi yang telah diakuisisi Facebook, yakni Instagram. Salah satu studi internal Facebook yang Haugen temukan, membahas mengenai bagaimana Instagram merugikan gadis remaja.
Satu studi mengatakan 13,5 persen gadis remaja menyebut Instagram memperburuk pikiran mereka untuk bunuh diri, lalu 17 persen gadis remaja menilai Instagram memperburuk kondisi gangguan makan mereka.
"Dan yang sangat tragis adalah penelitian Facebook sendiri mengatakan, saat para gadis muda ini mulai mengkonsumsi konten gangguan makan ini, mereka menjadi semakin tertekan, dan itu benar-benar membuat mereka lebih sering menggunakan aplikasi."
"Jadi, mereka berakhir dalam siklus umpan balik ini, di mana mereka semakin membenci tubuh mereka sendiri," jelas Haugen.
Sebelumnya, Facebook mengatakan pada minggu lalu bahwa pihaknya akan menunda rencana untuk membuat Instagram khusus anak-anak muda.
Bulan lalu, pengacara Haugen mengajukan setidaknya 8 pengaduan ke Securities and Exchange Commission yang menegakkan hukum di pasar keuangan.
Keluhan tersebut membandingkan penelitian internal dengan 'wajah publik perusahaan' yang disampaikan melalui kesaksian Bos Facebook Mark Zuckerberg pada 25 Maret lalu di hadapan Kongres AS.
Berikut kesaksian Mark Zuckerberg di 25 Maret 2021:
'Kami telah menghapus konten yang dapat menyebabkan bahaya di dunia nyata, kami telah membangun program pengecekan fakta pihak ketiga yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sistemnya tidak sempurna, namun ini adalah pendekatan terbaik yang kami temukan untuk mengatasi informasi yang salah sesuai dengan nilai-nilai negara kami'.
Salah satu pengacara Frances Haugen, adalah John Tye, ia merupakan pendiri kelompok hukum Washington yang disebut 'Whistleblower Aid'.
"Sebagai perusahaan publik, Facebook diwajibkan untuk tidak berbohong kepada investornya atau bahkan menahan informasi material. Jadi, SEC secara teratur melakukan tindakan penegakkan hukum, menuduh bahwa perusahaan seperti Facebook dan lainnya membuat informasi salah saji dan kelalaian material yang berdampak buruk bagi investor," kata Tye.
Tye pun membela kliennya yang bisa saja mendapatkan tuduhan 'mencuri dokumen perusahaan'.
"Undang-Undang Dodd-Frank yang disahkan lebih dari sepuluh tahun yang lalu, pada saat ini menciptakan Kantor Pelapor di dalam SEC. Dan salah satu ketentuan UU itu mengatakan bahwa tidak ada perusahaan yang dapat melarang karyawannya berkomunikasi dengan SEC dan berbagi dokumen internal perusahaan dengan SEC," tegas Tye.
Sementara itu, Haugen tidak menyalahkan sepenuhnya kesalahan itu kepada Zuckerberg, namun ia merasa miris melihat dampak yang ditimbulkan dari sikap tidak tegas salah satu orang terkaya di dunia itu.
"Saya memiliki banyak empati untuk Mark dan Mark tidak pernah membuat platform kebencian. Namun dia telah membiarkan pilihan dibuat, di mana efek samping dari pilihan itu adalah konten yang penuh kebencian dan terpolarisasi mendapat lebih banyak distribusi serta jangkauan," tegas Haugen.
Facebook merupakan perusahaan jejarimg sosial senilai 1 triliun dolar AS dan baru berusia 17 tahun. Platform ini memiliki 2,8 miliar pengguna, yang merupakan 60 persen dari semua orang yang terhubung ke internet di Bumi ini.
Haugen berencana bersaksi di depan Kongres AS pada minggu ini, ia meyakini bahwa pemerintah federal memang harus memberlakukan peraturan.
"Facebook telah menunjukkan bahwa mereka tidak dapat bertindak secara independen. Facebook berulang kali, telah menunjukkan bahwa mereka lebih memilih keuntungan daripada keamanan. Mereka mensubsidi, membayar keuntungannya dengan keselamatan kita," ujarnya.
"Saya berharap ini akan memiliki dampak yang cukup besar pada dunia sehingga mereka bisa mendapatkan motivasi untuk benar-benar menerapkan peraturan tersebut, itu harapan saya," pungkas Haugen.
Sumber: CBS News