News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Serangan Siber Incar Sektor Keuangan, Masyarakat Harus Persenjatai Diri

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi hackers (peretas)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Selama pandemi Covid-19 berlangsung kejahatan siber semakin merajalela.

Kerugian di sektor keuangan oleh para pelaku kejahatan di dunia maya ini tak main-main.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kerugian riil yang dialami bank umum pada semester satu 2020 hingga semester satu 2021 dilaporkan mencapai Rp 246,5 miliar. Sementara potential loss pada periode yang sama adalah Rp 208,4 miliar.

Mohamad Miftah Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK menyampaikan, angka kerugian yang tak kalah signifikan juga dialami oleh pihak nasabah.

Ia mengungkapkan, pada periode serupa, kerugian riil yang dialami nasabah mencapai Rp 11,8 miliar, dengan nilai recovery sebesar Rp 8,2 miliar.

Baca juga: Ketua Serikat Media Siber Indonesia Lampung Sambut Tim Jelajah Kebangsaan Wartawan PWI

Menurut Miftah, selama periode semester satu 2020 hingga semester satu 2021, terdapat 7.087 laporan kejadian fraud yang dilakukan dengan menggunakan siber.

“Sekitar 71,6 persen fraud yang terjadi adalah di bank umum pemerintah, disusul bank swasta sebesar 28 persen, dan bank asing sebanyak 0,3 persen,” ungkapnya pada diskusi virtual bertema, “Pentingnya Keamanan Siber untuk Ekonomi Digital Indonesia’ yang berlangsung Kamis (28/10/2021).

Riskannya sektor keuangan menjadi sasaran dari berbagai ancaman siber juga disampaikan Direktorat Keamanan Siber dan Sandi Keuangan, Perdagangan, dan Pariwisata, Mawidyanto Agustian dalam kesempatan yang sama.

Baca juga: Perbankan Merugi Rp 246,5 miliar di Semester I 2021 Akibat Serangan Siber

Menurutnya, jenis serangan yang selama ini dihadapi oleh sektor keuangan di Tanah Air, cukup beragam.

Mulai dari, ransomware, phishing, dan lainnya. Menurutnya, serangan siber ke sektor keuangan ini meningkat karena banyak orang yang bekerja dari rumah.

Sehingga banyak orang mengakses jaringan kantornya dari rumah, sementara perlindungan jaringan yang dimiliki cenderung kurang memadai.

"Banyak yang kerja dari rumah, jadi mereka bisa mengakses jaringan kantor. Bisa saja itu tanpa proteksi, yang kemudian jadi celah untuk serangan siber," tambahnya.

Pada 2020, Agustian mengungkapkan, terjadi kenaikan sebesar 35 persen transaksi mobile banking di Tanah Air, dengan total transaksi mencapai Rp 3.349 triliun.

Baca juga: Daftar Serangan Siber yang Picu Kerugian Finansial Sepanjang 2021

Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu Rp 2.493 triliun Tahun lalu, BSSN juga mencatatat tren peningkatan jumlah nominal transaksi elektronik, dari total transaksi Rp 112,1 triliun pada 2019, menjadi Rp Rp 163,4 trilun pada 2020.

Tanggung Jawab Bersama

Mohamad Miftah mengatakan, masyarakat harus memiliki kesadaran soal keamanan keuangan digital di tengah kemajuan teknologi seperti sekarang. Untuk itu mutlak perlu adanya peningkatan edukasi.

Pandemi COVID-19 mengakibatkan peningkatan insiden siber di sektor keuangan termasuk phising attack, pharming, data harvesting malware, kebocoran dan pencurian data hingga penipuan daring.

Miftah mengungkapkan, masyarakat khususnya pengguna jasa keuangan digital harus melek akan informasi keamanan digital dan tidak bergantung pada penyedia jasa.

"Literasi bagi masyarakat perlu kita tingkatkan, istilahnya kalau mau aman ya harus melindungi diri sendiri juga, walaupun dari perbankannya sudah mem-block dan menjaga dengan security," ujar Miftah

Miftah mengatakan serangan siber tidak bisa hanya dihadapi sendirian oleh satu badan otoritas saja namun diperlukan kerja sama dengan berbagai pihak.

"OJK dan lembaga dan otoritas terkait akan terus bekerja sama dan berkoordinasi mengenai pelaporan dan penanganan insiden siber terutama di sektor perbankan dan keuangan," kata Miftah.

Baca juga: Sejarah Perkembangan Keamanan Siber, dari Dinas Code hingga CSIRT

"Jadi memang untuk aman, bukan hanya pekerjaan dari industri dan regulasi tapi juga dari semua stakeholder terutama dari pengguna. Jadi harapannya transformasi layanan keuangan digital yang terus dilakukan oleh perbankan itu tentunya bisa mempermudah memberi rasa nyaman," lanjutnya.

Sementara itu, terkait dengan pinjaman online (pinjol) ilegal, menurut Miftah, masyarakat harus mendapat edukasi yang jelas tentang efeknya. Pasalnya, selama ini pinjaman daring menawarkan sesuatu yang menggiurkan dengan memberikan kemudahan.

"Pinjol sebenarnya enggak jadi masalah, yang jadi masalah kan ilegal. Kesempatan pinjam ini langsung hadir di depan mata, sepertinya mudah walaupun nantinya ada efek yang lebih berat, itu yang enggak disadari," ujar Miftah.

Lebih lanjut Miftah mengatakan, dari pihak edukasi dan perlindungan konsumen pun sudah terus menyampaikan berita-berita mana yang ilegal dan segala macam, upaya kita adalah untuk mengedukasi masyarakat karena memang kuncinya di situ.

Perbankan Rugi Ratusan Miliar

Serangan siber menjadi ancaman bagi sektor perbankan. Akibat serangan siber, perbankan menelan kerugian bernilai ratusan miliar. Itu belum termasuk kerugian dari nasabah.

Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK Teguh Supangkat mengungkapkan, perbankan mencatatkan kerugian riil sebesar Rp 246,5 miliar akibat serangan siber pada semester I 2020 - semester I 2021.

"Tetapi dari kerugian riil itu, terdapat potensi kerugian Rp 208,4 miliar dan nilai pemulihan sebesar Rp 302,5 miliar dari laporan yang kami terima," kata Teguh pada peluncuran Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan di Jakarta, Selasa (26/10).

Tak hanya perbankan, nasabah juga dirugikan. Pada periode yang sama, nasabah perbankan mengalami kerugian sebesar Rp 11,8 miliar, potensial kerugian Rp 4,5 miliar dengan nilai pemulihan Rp 8,2 miliar.

Sementara kerugian dari pihak lain menyentuh angka Rp 9,1 miliar, potensi kerugian Rp 3,8 miliar dan nilai pemulihan sebesar Rp 3,8 miliar. Artinya, porsi kerugian bank paling besar yakni 77% dari total kerugian. Menyusul nasabah dan pihak lain masing - masing sebesar 20% dan 3%.

Tak hanya kerugian, serangan siber juga menyebabkan kasus fraud di perbankan naik. Pada periode tersebut, terdapat 7.087 laporan kasus fraud. Sebanyak 45% kejadian fraud tersebut terjadi pada semester II 2020.

Dari jumlah tersebut, mayoritas kejadian fraud menggunakan siber sebesar 71,6% terjadi di bank umum milik pemerintah. Disusul bank swasta 28% dan bank asing 0,3%.

"Jenis fraud dengan penggunaan siber yang masuk ke dalam tindakan lain sebesar 47,48% dari total kasus dengan kecenderungan kejadian antara lain skimming dan social engineering," jelas dia.

Mengantisipasi kasus terulang, OJK merilis Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan pada Selasa (26/10). Lalu berencana menerbitkan Peraturan OJK (POJK) baru terkait manajemen risiko keamanan siber di sektor perbankan.

"Ini sangat kritikal, yang menjadi salah satu alasan kenapa kita harus cepat memberikan panduan dan POJK. Teman - teman OJK bergerak cepat untuk menyiapkan aturan dalam waktu dekat," ungkap Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana.

Hal ini seiring dengan semakin cagihnya serangan siber. Bahkan, ia menemukan serangan yang sampai mengunci data dan meminta tebusan kepada pihak perbankan.

Oleh karena itu, perbankan diminta melapor kepada otoritas jika terjadi serangan siber. Baru kemudian ditindaklanjuti bersama Bareskrim Mabes Polri untuk mitigasi serangan tersebut.

"Bank yang diserang responnya sangat bagus, manajemen risiko sibernya juga baik. Sehingga dalam waktu singkat, sistemnya bisa pulih dan layanan tidak terganggu," tutupnya. (Tribunnews.com/Kontan.co.id)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini