Laporan Wartawan Tribunnews.com, Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, KIYV – Kehadiran Telegram sebagai platform komunikasi, perlahan mulai menggeser pesona WhatsApp.
Terlebih setelah Mark Zuckerberg mengubah kebijakan privasi pada platform ini. Membuat beberapa negara, tak terkecuali Ukraina kini mulai menggunakan Telegram untuk sarana komunikasi.
Memanasnya konflik antara Rusia dan Ukraina, membuat Telegram muncul sebagai tempat komunikasi sekaligus sumber berita tanpa filter bagi warga Ukraina.
Baca juga: Putin Sebut Warganya yang Protes Invasi Rusia ke Ukraina sebagai Sampah dan Pengkhianat
Tak seperti para kompetitornya, meski Telegram menawarkan kebebasan akses bagi penggunannya. Namun aplikasi pesan instan berbasis cloud satu ini, tetap memperhatikan keamanan pesan para penggunnnya. Seperti menghadirkan fitur saluran atau channel yang bisa diatur untuk publik atau private.
Belakangan Telegram digunakan masyarakat Ukraina yang mengungsi ke beberapa negara tetangga, untuk mengetahui kondisi terkini yang terjadi pada negara asalnya.
Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Masih Lanjut, SBY Suarakan Gencatan Senjata untuk Salurkan Bantuan Kemanusiaan
“Telegram telah menjadi sumber berita utama saya. Seperti pengeboman bangsal bersalin di Mariupol. Bahkan sebelum menjadi berita, Anda melihat video di saluran Telegram," ujar Artem Kliuchnikov, warga negara Ukraina yang mengungsi ke Prancis.
Tak hanya warga Ukraina saja yang aktif menggunakan Telegram. Bahkan kalangan jurnalis lapangan, pekerja bantuan, hingga Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy diketahui juga turut mengandalkan platform satu ini untuk menyiarkan informasi di saluran Telegram.
Melansir dari laman NPR, keunggulan Telegram yang dapat mengatur akses privasi atau publik di saat membagikan umpan foto dan video, telah mencuri perhatian warga Ukraina. Selain itu tidak adanya batas anggota dalam sebuah grup, telah membuat satu saluran Telegram dapat menampung ratusan hingga ribuan pengguna.
Meski berbagai keunggulan tersebut mempermudah akses komunikasi penggunannya, namun sejumlah pakar khawatir dengan kemanan Telegram yang tergolong lemah lantaran tidak tersematnya sistem end-to-end encryption.
"Terdapat risiko signifikan ancaman dari dalam atau peretasan sistem Telegram dapat mengekspos semua percakapan ini kepada Pemerintah Rusia," tutup Direktur Keamanan Siber Electronic Frontier Foundation, Eva Galperin.