Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat, selama tiga tahun ke belakang, ancaman siber utama yang masuk ke RI, antara 42 sampai 62 persen, disebabkan malware.
Deputi Bidang Keamanan Siber dan Sandi Pemerintahan dan Pengembangan Manusia BSSN, Sulistyo, mengatakan pihaknya telah menelusuri alasan di balik malware menjadi ancaman utama.
"Malware itu kenapa terjadi demikian? Setelah kami telusuri, masih banyak digunakan software bajakan. Software bajakan masih banyak dipakai di instansi pemerintahan," kata Sulistyo dalam acara diskusi daring Forum Merdeka Barat 9 bertajuk Infrastruktur Digital Menuju 100 Smart City, Jumat (3/11/2023).
Baca juga: Kominfo Akan Tingkatkan Patroli Siber Selama Pemilu 2024 untuk Cegah Hoaks
Karena memakai software bajakan, ketika ada patching (tambalan) atau updating (pembaruan) untuk software yang digunakan, itu tidak bisa dilakukan karena bajakan.
Hal tersebut, kata Sulistyo, masih dominan ditemukan di lingkungan pemerintahan, sehingga harus ada kerja ekstra bagaimana agar tidak menggunakan software bajakan.
Ia paham bahwa hal ini berkaitan juga dengan anggaran dari masing-masing pemerintah daerah.
"Apakah itu di kabupaten kota yang harus menjadi perhatian khusus? Tadi dari jubir Otorita IKN juga menyampaikan semua nanti (di IKN) akan terkoneksi, tapi kalau software-nya masih bajakan bagaimana? Software crack-an," kata Sulistyo.
Berikutnya, ia mengungkapkan bahwa tak hanya software bajakan yang menjadi kendala, tetapi juga lisensinya yang habis.
Software tersebut asli, tetapi ketika lisensinya habis, akan sama saja seperti yang bajakan. Tidak bisa melakukan pembaruan.
"Penyebab kebocoran data terutama di pemerintahan itu salah satu penyebabnya habisnya lisensi untuk bisa melakukan proses patching terhadap software yang dipakai," ujar Sulistyo.
"Tidak hanya perimeter security di firewall, kemudian software-software digunakan untuk bekerja, itu banyak masalah di situ," lanjutnya.