TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ancaman serangan siber di tahun 2025 diperkirakan semakin masif dan berani dengan menggunakan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) sebagai salah satu tools-nya.
Kejahatan siber diprediksi akan semakin kolaboratif dan terstruktur, dengan banyak aktor yang terlibat dalam mengoordinasikan serangan.
Kelompok Cybercrime-as-a-Service (CaaS) menjadi semakin terspesialisasi, sementara pelaku ancaman mulai mengadopsi panduan serangan yang menggabungkan ancaman digital dan fisik untuk melancarkan serangan yang sangat terarah dan berdampak.
Baca juga: FBI Kirim Peringatan Keras, Sebut Serangan Siber Via Pesan Incar Pengguna Android dan iPhone
Laporan terbaru perusahaan teknologi Fortinet berjudul Laporan Prediksi Ancaman Siber 2025 yang dikembangkan oleh FortiGuard Labs menganalisis evolusi metode serangan tradisional.
Laporan ini juga menganalisis tren baru yang membentuk masa depan kejahatan siber, serta memberikan rekomendasi praktis bagi organisasi untuk memperkuat ketahanan mereka.
Tren Ancaman Baru yang Perlu Diperhatikan di 2025
Seiring dengan berkembangnya kejahatan dunia maya, kami mengantisipasi munculnya beberapa tren unik pada tahun 2025 dan di masa mendatang. Berikut ini sekilas tentang apa yang kami prediksikan.
Pertama, Meningkatnya Keahlian dalam Rantai Serangan
Dalam beberapa tahun terakhir, pelaku kejahatan siber semakin banyak menghabiskan waktu “di fase booming” (left of boom), khususnya pada tahap pengintaian dan persenjataan dalam rantai serangan siber (cyber kill chain).
Akibatnya, aktor ancaman kini dapat melancarkan serangan yang lebih terarah dengan cepat dan presisi.
Sebelumnya, kami sering mengamati banyak penyedia Crime-as-a-Service (CaaS) bertindak sebagai 'serba bisa'—menyediakan segala yang dibutuhkan pembeli untuk melakukan serangan, mulai dari kit phishing hingga muatan berbahaya.
"Kami memperkirakan bahwa kelompok CaaS akan semakin beralih ke spesialisasi, dengan banyak kelompok fokus pada menyediakan layanan yang menargetkan hanya satu segmen tertentu dari rantai serangan," tulis laporan tersebut seperti siaran pers yang diterima Tribunnews dikutip Minggu, 22 Desember 2024.
Kedua, Cloud dengan Peluang Serangan Siber
Meskipun perangkat edge tetap menjadi target utama bagi pelaku ancaman, ada bagian lain dari permukaan serangan yang harus mendapatkan perhatian serius dari para pembela keamanan di tahun-tahun mendatang: lingkungan cloud mereka.
Meskipun teknologi cloud bukan hal baru, minat pelaku kejahatan siber terhadapnya terus meningkat.
Mengingat sebagian besar organisasi mengandalkan berbagai penyedia layanan cloud, tidak mengherankan jika semakin banyak kerentanan khususnya cloud dimanfaatkan oleh penyerang—tren yang diperkirakan akan terus berkembang di masa depan.
Ketiga, Alat Peretasan Otomatis Memasuki Pasar Gelap
Beragam vektor serangan dan kode terkait kini tersedia di pasar Crime-as-a-Service (CaaS), seperti kit phishing, Ransomware-as-a-Service, DDoS-as-a-Service, dan lainnya.
Meskipun beberapa kelompok kejahatan siber sudah mulai memanfaatkan AI untuk memperkuat layanan CaaS mereka, kami memperkirakan tren ini akan semakin berkembang.
"Kami juga memprediksi bahwa penyerang akan memanfaatkan output otomatis dari LLM (Large Language Model) untuk mendukung layanan CaaS dan memperluas pasar, misalnya dengan memanfaatkan hasil pengintaian media sosial dan mengotomatisasi intelejen tersebut menjadi kit phishing yang dikemas secara rapi," tulis laporan analisis ini.
Keempat, Playbook/Strategi Kejahatan Siber Kini Mencakup Ancaman Dunia Nyata
Pelaku kejahatan siber terus mengembangkan strategi mereka, dengan serangan yang semakin agresif dan destruktif.
"Kami memprediksi bahwa mereka akan memperluas playbook mereka dengan menggabungkan serangan siber dan ancaman fisik di dunia nyata," sebut Fortinet.
Saat ini, beberapa kelompok kejahatan siber sudah mulai mengancam fisik eksekutif dan karyawan sebuah organisasi, dan laporan ini memperkirakan hal ini akan menjadi bagian rutin dari banyak playbook di masa depan.
Selain itu, laporan ini juga memprediksi bahwa kejahatan transnasional—seperti perdagangan narkoba, penyelundupan manusia atau barang, dan lainnya—akan menjadi elemen reguler dalam playbook yang lebih canggih, di mana kelompok kejahatan siber dan organisasi kejahatan transnasional bekerja sama.
Kerangka Kerja Anti-Pelaku Ancaman Akan Berkembang
Seiring dengan terus berkembangnya strategi pelaku kejahatan siber, komunitas keamanan siber global juga dapat mengembangkan langkah-langkah responsif yang setara.
Upaya kolaborasi global, kemitraan antara sektor publik dan swasta, serta pengembangan kerangka kerja untuk menghadapi ancaman adalah langkah-langkah penting untuk meningkatkan ketahanan kolektif kita.
Berbagai upaya terkait—seperti Cybercrime Atlas dari World Economic Forum, yang didukung oleh Fortinet sebagai anggota pendiri—sudah berjalan, dan kami memperkirakan lebih banyak inisiatif kolaboratif akan muncul untuk secara signifikan mengganggu aktivitas kejahatan siber.
Pelaku Kejahatan Siber akan Selalu Mencari Cara Baru untuk Menyusup
Laporan analisis serangan siber 2025 ini juga mengulas tren pelaku kejahatan siber yang akan selalu mencari cara baru untuk menyusup ke dalam organisasi.
Namun, terdapat banyak peluang bagi komunitas keamanan siber untuk berkolaborasi dalam mengantisipasi langkah berikutnya dari para pelaku ancaman dan mengganggu aktivitas mereka secara efektif.
Nilai dari upaya lintas industri dan kemitraan publik-swasta tidak dapat diremehkan, dan kami memperkirakan jumlah organisasi yang terlibat dalam kolaborasi semacam ini akan terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang.
Selain itu, organisasi harus ingat bahwa keamanan siber adalah tanggung jawab semua pihak, bukan hanya tim keamanan dan TI. Misalnya, penerapan kesadaran dan pelatihan keamanan secara menyeluruh di seluruh perusahaan merupakan komponen penting dalam mengelola risiko.
Terakhir, pihak lain juga memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan dan mematuhi praktik keamanan siber yang kuat, mulai dari pemerintah hingga vendor yang memproduksi produk keamanan yang kita andalkan.
Tidak ada organisasi atau tim keamanan yang dapat menghentikan kejahatan siber sendirian.
"Dengan bekerja sama dan berbagi informasi intelijen di seluruh industri, kita secara kolektif berada dalam posisi yang lebih baik untuk melawan pelaku ancaman dan melindungi masyarakat secara efektif," tulis laporan tersebut.
Menurut Edwin Lim, Country Director, Fortinet Indonesia seiring dengan terus berkembangnya taktik pelaku kejahatan siber, tahun 2025 diperkirakan akan membawa gelombang baru serangan yang sangat terfokus dan didukung oleh AI.
Mulai dari meningkatnya layanan Cybercrime-as-a-Service hingga konvergensi antara ancaman siber dan fisik, tren ini mencerminkan bagaimana para pelaku ancaman mendorong batasan untuk melancarkan serangan yang lebih presisi dan berskala besar.
"Prediksi kami menegaskan pentingnya bagi organisasi untuk mengantisipasi dan beradaptasi dengan lanskap ancaman yang semakin dinamis," ungkap Edwin Lim.
Dia mengatakan, kerugian yang ditimbulkan dari insiden siber tidak hanya berkaitan dengan dampak finansial langsung dari pembayaran tebusan.
"Biaya signifikan yang terkait dengan upaya pemulihan, yang dapat melebihi jumlah tebusan awal,” tuturnya.
Meskipun organisasi memilih untuk membayar, tambah Edwin, tidak ada jaminan bahwa data mereka akan sepenuhnya dipulihkan.
“Ketidakpastian ini menambah lapisan risiko lain dalam proses pengambilan keputusan selama insiden siber," sebut Edwin Lim.
“AI dapat menganalisis sejumlah besar data dengan cepat, membantu organisasi mengidentifikasi dan merespons ancaman dengan lebih efektif. Penting sekali mengintegrasikan AI ke dalam strategi keamanan untuk tetap unggul dari para penjahat siber," tambahnya.
"Perlu ada kesadaran publik yang lebih besar mengenai keamanan siber. Pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk memberdayakan individu dan organisasi dalam mengenali dan mengurangi potensi ancaman,” tegas Edwin Lim.