Backpacker sedang berjuang menaklukkan Himalaya yang bercuaca ekstrim di Tibet.
TRIBUNNEWS.COM - Siapa bilang urusan menaklukkan gunung tinggi dengan cuaca ekstrim bersalju hanya monopoli para lajang berusia belasan dengan stamina yang masih prima? Tengok saja pengalaman pendaki gunung Feby Siahaan.
Usianya sudah 41 tahun. Cewek lagi. Dengan usia segitu, ia mengibaratkan kondisi fisiknya seperti mobil tua. "Saya ibarat mobil dengan banyak dempulan," tuturnya. Pernah mengalami gangguan kesehatan cukup serius. Yakni syaraf kejepit di bagian lumbal.
Dengan riwayat penyakit seperti itu, 'haram' hukumnya dia kena udara dingin ekstrem. Tak boleh juga badan membungkuk-bungkuk. Tapi itu fakta medis.
Dan siapa sangka, dengan kenekatan dan semangat membara, Feby Siahaan dan empat sahabat dekatnya yang lain (semuanya wanita di atas 40 tahun) berhasil 'menaklukkan' Pegunungan Himalaya dengan puncak tertinggi di dunia bernama Mount Everest di perbatasan Nepal dan Tibet.
Tapi keberhasilannya menjalani traveling ekstrim menyusuri kawasan dengan ketinggian 5.000 meter di atas permukaan laut tentu bukannya tanpa kendala. "Kelaparan, jatuh sakit, nyaris putus asa kami rasakan sepanjang jalan," kenang Feby Siahaan saat peluncuran karya bukunya berjudul "7 Hari 1.500 Kilometer Mengelilingi Tibet" dari penerbit Kompas di Toko Buku Gramedia, Grand Indonesia, Sabtu 15 November 2014.
Ia bersama empat kawannya sempat berkali-kali sesak nafas karena tipisnya oksigen di ketinggian 5.000 meter tersebut. Hebatnya, Feby membawa serta kakak tertuanya bernama Corry yang genap berusia 50 tahun. Dengan seusia setengah abad, Feby dan Corry sama-sama nekat menyusuri kawasan 'kejamnya Himalaya.' Karena cukup banyak cerita sedih tentang pendaki gunung yang jatuh sakit bahkan meninggal di kawasan Himalaya, Feby sempat diminta untuk meninggalkan surat wasiat, untuk menjaga kemungkinan dia akan meninggal.
Desakan setengah bercanda, setengah serius itu dilontarkan kerabat dan kawan-kawan dekatnya beberapa hari menjelang kenekatannya berangkat ke Himalaya. "Aduh, perasaan gua nggak enak nih, elu tinggalkan surat wasiat dulu deh," kenang Feby, mengutip ucapan seorang kerabat dekat.
Lewat buku tersebut, Feby ingin mendorong banyak orang Indonesia melalangbuana ke tempat-tempat ekstrim untuk melihat kebesaran Tuhan dengan melihat maha karya-Nya. "Jangan jadi anak mall. Atau melulu jadi traveler tapi ke Singapura, Hongkong dan Eropa," tuturnya.
Akibat dari sangat sedikitnya orang Indonesia yang bernyali menaklukkan Tibet, kata Feby, Indonesia tidak dikenal di negeri tersebut. Ia bertutur, sembilan dari sembilan orang Tibet yang dia tanya tentang Indonesia, tak satu pun yang paham. "Malah ada yang mengira Indonesia itu sama dengan Malaysia. Halah!" kenang mantan wartawan dengan liputan ekonomi bisnis tersebut.
Selain Feby dan Corry, ada nama Ossy, Olin dan Joice yang ikut serta dalam rombongan. Mereka berlima adalah wanita-wanita berusia 40-50 tahun yang secara logika biologis nyaris tak mungkin bisa menaklukkan kawasan Himalaya dengan puncak Everest yang 'kejam' terhadap mereka yang traveling di sana.
Apalagi mereka sama sekali tidak berlatar belakang traveler, anak gunung, backpacker, petualang atau apalah sejenisnya. Tapi buktinya mereka pulang masih bernyawa. Masih senyum-senyum dan membawa inspirasi semangat untuk tidak menyerah dari faktor usia dalam menjawab tantangan berat. (Agung BS/ abstribun@gmail.com)