News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tahun Baru Imlek 2565

Betapa Kuatnya Pengaruh Budaya Tiongkok di Panggung Seni Indonesia

Editor: Agung Budi Santoso
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Warga keturunan Tionghoa merapikan lilin di Vihara Dhanagun, Bogor, Rabu (18/2/2015). Tahun Baru Imlek 2566 diperingat Kamis (19/2/2015) besok. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

TRIBUNNEWS.COM -Pertengahan abad ke-7 di negeri Tiongkok. Raja muda Sie Jin Kwie memerintah satu wilayah dengan adil dan bijaksana. Namun, orang baik tidak pernah sendiri, selalu dibayangi penjahat rakus. Bie Jin memfitnah Sie Jin Kwie telah berlaku tidak senonoh sehingga kaisar ingin menghukum mati.

Kisah pahlawan berbaju putih ini dipentaskan Teater Koma dengan judul Sie Jin Kwie Kena Fitnah, Maret 2011. Sebuah drama pembauran di antara opera Tiongkok, boneka potehi, golek menak, wayang wong, dan wayang tavip.

Kelompok teater pimpinan Nano Riantiarno ini akan mementaskan lagi naskah saduran Opera Ular Putih, yang pernah dipentaskan 1994, pada April 2015.

Inti kisah tetap tentang siluman ular putih yang menyamar menjadi perempuan cantik dan membaur dengan kehidupan manusia. Namun, ada pesan lain dari Nano. ”Saat ini, siapa monster dan siapa manusia di negeri ini. Manusia bisa menjadi monster. Presiden harus bertanggung jawab untuk membedakan mana monster dan mana manusia,” katanya terkekeh.

Pembauran budaya Tiongkok dan Indonesia dalam teater juga muncul dalam desain busana. ”Opera Ular Putih tahun 1994 kami pakai batik. Ada adaptasi atau pembauran mengacu yang kita punya, merujuk batik di Indonesia, yang gila-gilaan ornamen Tiongkoknya,” kata Nano.

Tidak banyak kisah dari Tiongkok dipentaskan Teater Koma, tetapi pengaruhnya besar. Naskah Opera Ular Putih kerap dipentaskan di perguruan tinggi seni dengan tafsir beragam. Cerita paling fenomenal, Sampek Engtay, dipentaskan lebih dari 100 kali dengan naskah saduran Teater Koma. ”Saya lihat kisah Sampek Engtay jadi campur aduk menjadi lakon yang bisa diterima siapa saja. Kisah cinta yang berakhir tidak bahagia,” ujar Nano.

Pengaruh budaya Tiongkok pada seni pertunjukan modern di Indonesia, khususnya teater, berkaitan dengan cerita dan naskah. Nano memilih untuk mengambil kisah asli dari Tiongkok lantas disadur, sedangkan Remy Sylado memilih menukil kisah dalam sejarah pembauran Tiongkok dan Indonesia. Remy pada Januari 2009, misalnya, mementaskan drama musikal tentang dua pahlawan Tiongkok dari Lasem, Tan Pan Ciang dan Oei Ing Kiat, di Mal Ciputra, Jakarta. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan, Tan Pan Ciang sebetulnya Raden Panji Margono yang menyamar.

Merujuk catatan Jakob Sumardjo (Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia, Citra Aditya Bakti, 1992), pengaruh Tiongkok muncul pada masa Teater Opera pada 1908 ketika masyarakat keturunan Tiongkok membentuk sandiwara Opera Derma atau Tjoe Tee Hie. Lakon biasanya saduran dari naskah Tiongkok. Masa kebangkitan teater modern 1925-1941 ditandai dengan berdirinya Miss Riboet Orion yang dipimpin Tio Tik Djien. Kelompok ini terkenal melakukan perubahan dalam struktur pementasan. (Susi Ivaty)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini