News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Menyusuri Sungai Sarang Buaya

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sebuah perahu sedang menyusuri Sungai Cerucuk, Tanjungpandan, Kabupaten Belitung, Jumat (13/3/2015) sore.

TRIBUNNEWS.COM -- SUNGAI Cerucuk sudah seperti urat nadi bagi Pulau Belitung sejak berabad-abad lalu. Muaranya menjadi pintu masuk kapal penumpang dan segala jenis barang kebutuhan masyarakat. Namun kini, sungai itu seolah tinggal sendirian di tengah geliat pembangunan.

Perjalanan menyusuri Sungai Cerucuk dimulai dari Pelabuhan Umum Pelindo di samping muara Sungai Seburik Jumat (13/3) sore. Perahu tambang milik nelayan Juru Seberang Patrik bergerak pelan meninggalkan pelabuhan menuju hulu Sungai Cerucuk, Tanjungpandan.

Marwan yang ikut serta mulai memperhatikan hutan mangrove dan aktivitas manusia di sekitarnya. Warga Jalan Pagar Alam ini sudah sejak lama menaruh perhatian pada ekologi dan ia tak ingin melewatkan kesempatan untuk menyusuri Sungai Cerucuk.

“Ini perjalanan langka, puluhan kilometer berjalan di darat belum tentu sebanding dengan perjalanan ini,” ujarnya kepada Pos Belitung. Cerucuk selama ini memang kental dengan citra sebagai sarang buaya. Keberadaan buaya sering dijumpai mulai dari hulu, muara, sampai ke anak-anak sungainya. Namun buaya bukanlah ‘pemain’ tunggal di sungai ini.

Selagi perahu berjalan, Marwan menunjuk sesosok pria yang tampak sibuk mengaduk-aduk tepian sungai, tak jauh dari dermaga Juru Seberang. Menurutnya, pria tersebut sengaja menceburkan diri ke sungai untuk menangkap udang yang banyak dibutuhkan oleh pasar.

Tak lama setelah perahu meninggalkan muara, sesosok pria juga tampak sedang berkubang dengan lumpur di tengah rindangnya pohon bakau.

Menurut Marwan, pria tersebut sedang mencari kepiting bakau yang belakangan menjadi barang ekspor bernilai tinggi.
Kepercayaan tentang keberadaan buaya tampaknya tak menyurutkan warga untuk mencari hidup di sepanjang Sungai Cerucuk. Sekitar lima kilometer dari muara, Sungai Cerucuk semakin sepi dan alirannya mulai dipenuhi dengan cabang serta pulau-pulau kecil.

Keheningan pun mendadak terusik dengan suara mesin yang mencuat dari balik mangrove. Di sana tampak dua kelompok orang sedang melakukan aktivitas tambang dengan jarak sekitar 50 meter dari bantaran sungai. Bekas peralatan tambang seperti sakan dan ponton tambang timah juga bisa dijumpai dengan mudah.

Tak jauh dari pusat aktivitas tersebut, tampak sejumlah pemancing sedang mencoba peruntungan dengan melontarkan joran ke sungai. Namun peluang mereka mendapat ikan disanksikan karena kondisi air sungai yang sudah menyerupai kopi susu.

Patrik mengatakan, dirinya kesulitan mendapatkan udang sejak air sungai di bagian hulu semakin keruh. Karena itu pula ia tak yakin bila para pemancing bisa pulang dengan perasaan puas ketika memancing di lokasi tersebut.

“Bukan buaya yang kami cemaskan, tapi tambang tepi sungai itulah sebenarnya lebih berbahaya, tapi orang kan mau cari makan juga, jadi kami juga tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Patrik.

Penambangan timah di kawasan Sungai Cerucuk memang bukan lagi barang baru. Aktivitas tersebut setidaknya sudah berlangsung jauh sebelum perusahaan Belanda masuk ke Belitung pada 1851. Kemudian tahun 1928, perusahaan Belanda NV. GMB meluncurkan Kapal Keruk VII bernama Cerucuk yang dibuat khusus untuk mengaduk-aduk kandungan timah di sungai tersebut.

Namun begitu, Penulis novel Yin Galema Ian Sanching mengatakan masih menemui aliran sungai yang bening ketika mengunjungi Pulau Kapal pada tahun 1984. Ia pun mengaku kaget ketika mendapati air di sekitar pulau tersebut sekarang telah menjadi amat keruh.

“Dulu airnya bening, memang tidak kelihatan sampai dasar, karena sungai ini kan cukup dalam,” kata Ian kepada Pos Belitung.(Pos Belitung/Wahyu K)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini