TRIBUNNEWS.COM - Dalam penyelenggaraan INACRAFT (The Biggest and The Most Complete Exhibition of Gifts and Housewares) yang ke-16 kalinya, Tenun Ikat NTT menjadi salah satu produk yang tidak pernah absen dari acara ini.
Jika masyarakat Jawa mempunyai batik maka masyarakat NTT memiliki kain tenun.
Meski secara administratif gugusan-gugusan pulau di wilayah ini berada dalam satu pemerintahan namun tak berarti budayanya juga homogen.
Beraneka ragamnya suku, etnis, bahasa dan budaya di NTT menjadi alasan mengapa terdapat beragam motif tenun yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan daerah lain.
Salah satu Tenun Ikat yang hadir dalam INACRAFT 2015 adalah Tenun Ikat asal Sumba Timur. Fidelis Tasmin Asmat salah satu pengusaha asal Sumba Timur menuturkan Tenun Ikat berupa sarung menjadi salah satu yang utama untuk dipamerkan dalam kegiatan ini.
“Produk utama yang kami tawarkan adalah sarung dari Sumba Timur, tetapi saya bawa juga kain dan sarung yang berasal dari Kodi, Sumba Barat,” ungkap Fidelis.
Fidelis mengaku sejak hari pertama penyelenggaraan INACRAFT 2015, antusiasme pengunjung cukup tinggi dalam membeli Tenun Ikat Sumba.
“Yang paling berkesan buat saya adalah kemarin. Saya tidak menyangka dalam sehari kemarin dapat meraup Rp 200 Juta. Bahkan kemarin saya baru menutup stan pada pukul 11 malam dan ada pengunjung yang memaksa untuk tetap buka karena dia hanya memiliki kesempatan tadi malam untuk membeli,” ungkap Fidelis.
Pemilik butik Hinggi Collection ini menyatakan, produk yang dijual dalam pameran kali ini dibandrol mulai dari Rp. 300.000 untuk selendang, hingga Rp.75 Juta untuk kain sepanjang enam meter. Kain ini merupakan masterpiece dari produk yang ditawarkan Fidelis. “Selain kain sepanjang enam meter ini ada juga kain-kain tua yang seharga Rp. 20 Juta hingga Rp. 50 Juta,” tutur Fidelis.
Sekelas produk jeans Lea
Tidak banyak yang tahu Tenun Ikat asal Sumba ternyata memiliki kualitas setara dengan produsen jeans luar negeri, Lea. Fidelis menjelaskan proses indigo Tenun Ikat Sumba merupakan salah satu yang terunggul di Indonesia.
“Para peneliti dari Lea pernah meneliti proses indigo tenun Ikat Sumba. Mereka mendapati bahwa ternyata formula indigo dari proses penenunan sama dengan formula yang dipakai oleh Lea Jeans. Para peneliti dari Inggris itu sampai belajar proses pembuatan dari masyarakat kami yang tidak pernah sekolah. Mereka heran bagaimana masyarakat yang tidak berpendidikan bisa menciptakan proses indigo dengan kualitas dunia,” kata Fidelis.
Indigo atau yang lazim disebut ”Tom” ( indigofera ) sendiri adalah daun yang dimanfaatkan sebagai bahan pewarnaan pada textil dan serat Alam-bukan textil. Pewarnaan dengan jenis tanaman Indigofera ini telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak beratus-ratus tahun silam. Untuk dapat memperoleh zat warna alam dari hasil fermentasi daun Indigofera ini harus melalui proses yang sangat panjang dan diperlukan waktu yang cukup lama.
Indigofera (Tom) adalah termasuk salah satu dari sekian banyak jenis pewarna yang ramah lingkungan. Gugus zat warna dipisahkan dari daun Tom dengan cara fermentasi, kemudian diendapkan sehingga akan menghasilkan suatu pasta Indigo, pasta tersebut yang kemudian dapat dipergunakan sebagai pewarna textil.
Bagi Fidelis, Tenun Ikat mempunyai filosofinya tersendiri bagi masyarakat Sumba. “Stan saya di INACRAFT 2015 saya namakan ‘lukamba nduma luri’ yang berarti benang untuk hidup. Jadi benang ini sudah memberikan arti tersendiri bagi masyarakat Sumba Timur,” tutup Fidelis. (Merlina Barbara)