Laporan Reporter Serambi Indonesia, Nurul Hayati
TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Hutan Kota Tibang di Syiah Kuala, Aceh, jadi lokasi pelepas penat yang nyaman, sekalian selfie dan belajar fotografi. Apa sih asyiknya di lokasi ini?
Jembatan melintasi sebuah sungai kecil di Hutan Kota Tibang di Syiah Kuala, Banda Aceh (Serambi Indonesia/ Nurul Hayati)
SENJA rebah di batas cakrawala. Semburat warna jingga memantulkan keelokan muara tempat pepohonan bakau (mangrove) menancapkan akarnya.
Angin sore membelai lembut siapa saja yang datang. Derai-derai cemara adalah nyanyian hutan kota yang membentang di Desa Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh.
Hutan seluas 7,15 Ha dengan seratusan jenis tetumbuhan itu kini menjadi pilihan favorit sebagian warga melepaskan penat. Lari dari hiruk pikuk kota yang seakan tak pernah tidur.
Kekayaan flora berupa tumbuhan pesisir sebagai magnet utama, telah mengundang spesies lain yaitu kawanan burung.
Hutan yang dulunya merupakan lahan tidur itu lahir tatkala Aceh dipimpin Gubernur Irwandi Yusuf.
Pencetus program moratorium logging ini bersama para pihak menasbihkan trembesi (Samanea Saman) dan tanaman sejenisnya, seperti cemara laut, ketapang, waru, glumpang, dan kelapa yang merupakan tanaman khas hutan tropis sebagai penghuni utama hutan kota.
Rindangnya pepohonan di Hutan Kota Tibang di Syiah Kuala, Banda Aceh (Serambi Indonesia/ Nurul Hayati)
Tempat pembibitan pun siap menyemai benih-benih baru untuk menghijaukan kota itu.
“Saya bersama kawan-kawan sepulang kuliah sering kemari. Anginnya itu membuat nyaman dan bikin enggan pulang,” terang Syaridah (20) mahasiswi Jurusan Tata Boga FKIP Unsyiah Banda Aceh dengan senyum merekah.
Ia datang bersama temannya Suci (20) yang juga menjadi mahasiswi dari kampus yang sama serta berasal dari kota yang sama pula, Aceh Tamiang. Sore itu Syaridah terlihat menikmati semilir angin sambil memetik gitar.
Ia duduk lesehan di tepi jembatan dengan kaki menjuntai ke hutan bakau yang bermuara ke pantai Alue Naga, Syiah Kuala.
Jembatan berbentuk huruf L itu menjadi tempat mainstream bagi pengunjung, khususnya bagi mereka yang ingin berfoto ria.
Lokasi Asyik Berfoto-fotoan
Tak hanya para selfie mania, para fotografer profesional pun kerap menjadikan lokasi itu untuk hunting foto.
Spot jembatan berlatar hutan bakau juga menjadi setting favorit dalam pembuatan video klip tembang-tembang daerah.
Jika akhir pekan tiba, warga yang ingin berlari pagi sudah wara wiri sebelum hutan kota dibuka yaitu antara pukul 09.00 WIB-18.30 WIB. Cukup membayar parkir Rp 2.000 kita sudah bisa menjelajah hutan kota sepuasnya.
Jogging asyik di Hutan Kota Tibang di Syiah Kuala, Aceh. Hutan bakau masih lestari. (Serambi Indonesia/ Nurul Hayati)
Hutan Kota Tibang terletak sekitar 5 Km dari pusat kota, ke arah selatan menuju Kecamatan Kajhu, Aceh Besar.
Untuk menuju kemari melewati Bundaran Simpang Mesra lalu berbelok ke kiri dengan jarak sekitar 300 meter. Tempat ini berada tepat di samping Kampus Ubudiyah.
Tak sulit menuju kemari karena meskipun terletak di pinggiran kota, namun semua jenis angkutan darat seperti sudako, ojek, atau becak motor dengan mudah ditemui.
Hutan kota itu dilengkapi dengan fasilitas pendukung. Sebut saja keberadaan tempat sampah yang dikelompokkan dalam sampah kering dan basah mudah ditemukan di mana saja, toilet, hingga tempat perpustakaan anak.
Dengan kekayaan tumbuhan di dalamnya, Hutan Kota Tibang pun tak ayal menjadi ‘laboratorium’ bagi para siswa dan mahasiswa di kota itu.
Menurut juru bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Effendi Isma SHut Banda Aceh perlu menambah titik-titik hijau di jantung kota.
Sehingga warga tak perlu jauh-jauh datang ke Hutan Kota Tibang untuk sekedar menghirup udara segar dan menatap hijau pepohanan. Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut Effendi harus terintegrasi dengan tata kota.
“Selain menambah spot-spot hijau di tengah kota seperti di Kawasan Peunayong ataupun Pasar Aceh, masyarakat perlu dibudayakan agar tidak sekedar menjadi penikmat tapi juga harus mempunyai rasa memiliki,” ulas Effendi.
Hutan kota adalah salah satu alternatif wisata alam sekaligus ‘laboratorium’ pengetahuan.
Keberadaan tumbuhan yang mewakili kota-kota di Indonesia ibarat hutan mini nusantara.
Mengenalnya membuat kita semakin bangga akan negeri berjuluk ‘zamrud khatulistiwa’.