Laporan Wartawan Banjarmasin Post/Yayu Fathilal
TRIBUNNEWS.COM, BANJARMASIN - Kembang Barenteng adalah rangkaian bunga khas Kalimantan Selatan.
Biasanya dipakai untuk keperluan ritual keagamaan, kematian, pernikahan hingga menyambut pejabat penting.
Ada juga segelintir kalangan yang menjadikannya oleh-oleh.
Namun di balik itu, ada legenda tentang sejarah atau asal usul keberadaan Kembang Barenteng ini hingga menjadi bagian dari kebudayaan Banjar sejak ratusan tahun lalu.
Kembang Barenteng adalah rangkaian bunga-bunga segar terdiri dari mawar, cempaka, melati, kenanga, kembang kuning dan bunga kertas.
Konon, legenda asal usulnya hidup di kalangan para perajinnya atau dalam bahasa Banjar disebut parentengan di kawasan Jalan Pangeran Hidayatullah, Kelurahan Pangambangan, Kecamatan Banjarmasin Timur, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Para parentengan yang sudah senior di sana sangat hafal dengan kisah legenda ini.
Seperti dituturkan Sabariyah, salah satu parentengan di sana.
Dulu, ada seorang puteri kerajaan bernama Nini Randa.
Karena ada masalah, dia terusir dari kerajaan, lantas hidup di hutan.
Hutan itu luas dan dipenuhi bunga atau kembang berbagai jenis yang kemudian disebut Pangambangan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia lantas membuat rangkaian bunga tersebut lalu dijualnya ke para bangsawan.
"Konon, dulu lokasi kerajaan ada di Masjid Raya Sabilal Muhtadin situ. Nini Randa naik perahu jualan ke dekat situ. Rangkaian bunganya disukai para bangsawan itu dan laku keras," ujarnya.
Karena disukai kaum bangsawan, rangkaian bunga itu kemudian kerap dipakai mereka dalam berbagai upacara hingga kemudian menjadi sebuah budaya yang lantas ditiru oleh rakyat.
Nini Randa hidup di hutan itu hingga tua dan memiliki keturunan.
Dia kemudian mengajarkan ilmu merangkai kembang itu ke para keturunannya.
Hingga sekarang, para perajin kembang barenteng itu yang diyakini adalah para keturunan Nini Randa tetap melestarikan kebudayaan ini.
Sepeninggalnya, ada sepenggal cerita mistis juga yang berkembang di sini.
Di waktu-waktu tertentu, arwah Nini Randa menampakkan diri.
"Biasanya mereka yang mencium wangi bunga di waktu menjelang Magrib akan didatangi arwah Nini Randa ini. Ibu saya pernah melihatnya. Katanya, wujudnya seperti nenek bungkuk, tetapi dia tidak mengganggu. Mungkin hanya menjenguk anak keturunannya," tuturnya.
Namun sayangnya, katanya, generasi parentengan yang sekarang sudah tidak begitu akrab dengan legenda ini.
Mereka yang tahu tentang ini hanya kalangan tuanya.
"Dulu waktu saya kecil, cerita ini sering didongengkan oleh ibu saya, agar kami tahu tentang asal usul budaya merangkai kembang khas Banjar ini karena kami ini, warga Pangambangan rata-rata berprofesi sebagai perajin kembang barenteng secara turun temurun," ujarnya.
Dari dulu hingga sekarang, para penjual Kembang Barenteng ini banyak ditemui di pasar-pasar tradisional di Banjarmasin.
Mereka biasanya berjualan di pinggir-pinggir jalan di depan pasar, mereka berjualan dari pagi hingga malam.
Kembang yang dijualnya beragam jenisnya, ada yang berupa rentengan ada juga yang curah.
Harganya yang serenteng besar Rp 25 ribu dan yang curah terserah pembeli maunya beli berapa ribu rupiah.
Penjual kembang barenteng lainnya, Dijah, mengatakan pembelinya biasanya dari warga Banjarmasin juga.
Mereka membeli untuk berbagai keperluan ritual adat atau keagamaan.
"Mau dijadikan oleh-oleh juga bisa. Terkadang ada saja turis yang tertarik, namun kekurangannya karena ini bunga segar tidak bisa tahan lama," ujar perempuan berkerudung ini.
Penjual kembang barenteng lainnya, Siti, mengatakan terkadang ada saja turis asing menghampiri lapaknya berjualan di Pasar Sudimampir, Jalan Ujung Mur
ung, Banjarmasin.
"Mereka tertarik sekali dan banyak bertanya-tanya tentang kembang ini. Mungkin karena berwarna-warni dan harum membuat mereka suka,"
ujarnya.