Laporan Reporter Serambi Indonesia, Nurul Hayati
TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Komplek perumahan peninggalan Belanda itu tampak asri.
Bangunan-bangunan tua bergaya klasik mengapit sisi Jalan Nyak Adam Kamil II, Neusu Jaya, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh.
Menjejakkan kaki di sini kita seakan diajak memasuki labirin waktu, tatkala provinsi yang menjadi daerah modal republik ini diduduki Belanda.
Rumah-rumah bermaterial kayu berbalut cat bernuansa tanah dengan arsitektur unik menampilkan wajah lain kota tua Banda Aceh. Memburatkan rona tempo dulu pada wajah kota yang kini menginjak usia 809 tahun.
Bangunan tua warisan Belanda di kawasan Neusu Jaya, Baiturrahman, Banda Aceh berstatus cagar budaya (Serambi Indonesia/ Nurul Hayati)
Pohon-pohon yang memeluk sepanjang sisi jalan protokol layaknya oase di tengah lautan kendaraan.
Jejeran rumah bergaya klasik yang diapit oleh gedung BI, pendapa gubernur, Bapertis, hingga sentra telepon mencuri perhatian dan menjadi magnet tersendiri.
Tak heran pendudukan Belanda yang sekian lama bercokol di Aceh pada abad ke-18 (1973-1904) memungkinkan penjajah membangun tangsi militer guna melindungi pusat pemerintahan Hindia Belanda di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) kala itu.
Terletak sekitar 500 meter dari jantung kota melewati Jalan Sultan Alaidin Machmudsyach, kawasan kota tua Banda Aceh ini bisa menjadi destinasi bagi pelancong atau warga kota yang sekedar ingin melepas penat.
Lari dari hiruk pikuk kota yang seakan tak pernah tidur.
“Sejak tahun 1991 kompleks perumahan peninggalan kolonial Belanda, pendapa gubernur, BI, Baperis, dan sentra telepon ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya nasional.
Bangunan tua warisan Belanda di kawasan Neusu Jaya, Baiturrahman, Banda Aceh berstatus cagar budaya (Serambi Indonesia/ Nurul Hayati)
Penetapannya oleh menteri karena sudah memenuhi kriteria yaitu berumur lebih dari 50 tahun, mempunyai arsitektur yang khas, data sejarah arkeologis, dan tingkat keterancaman,” papar Kasi Perlindungan, Pengembangan, dan Pelestarian (P3) Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Regional Aceh-Sumatera Utara, Dahlia.
Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 11 Tahun 2010 memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola cagar budaya di daerahnya masing masing.
Cagar budaya sendiri meliputi situs, benda, kawasan, struktur, dan bangunan.
Setiap kabupaten/kota melalui dinas terkait mendaftarkan cagar budaya yang dimilikinya untuk kemudian ditetapkan sebagai cagar budaya menurut skalanya masing-masing.
Namun untuk penetapan tersebut terlebih dulu harus mendapat rekomendasi dari tim ahli yang meninjau langsung lokasi. Inilah yang menjadi kendala lambannya penetapan suatu cagar budaya.
“Sebagian kota/kabupaten seperti Banda Aceh dan Aceh Utara sudah mempunyai tim ahli sendiri, kami hanya pelaksana teknis. Namun begitu sepanjang sudah terdaftar meskipun belum ditetapkan, kami tetap memperlakukannya sebagai cagar budaya,” tegas Dahlia.
Selain kawasan cagar budaya Neusu Jaya, adalagi Taman Sari Gunongan, Benteng Indrapatra, masjid dan benteng Indrapuri yang pada tahun yang sama juga ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya nasional.
Dahlia menyayangkan kurangnya kesadaran warga setempat khususnya kawasan cagar budaya yang terletak di pinggiran kota dalam menjaga khazanah budaya tersebut.
Bangunan tua warisan Belanda di kawasan Neusu Jaya, Baiturrahman, Banda Aceh berstatus cagar budaya (Serambi Indonesia/ Nurul Hayati)
Hujan yang mengguyur kawasan cagar budaya Neusu, Sabtu (23/5) menyisakan gerimis.
Seperti halnya rumah-rumah apik nan asri peninggalan Belanda yang menyisakan banyak cerita.
Kini bangunan peninggalan Belanda itu dialihfungsikan menjadi rumah dinas tentara Kodam Iskandar Muda.
Kota tua dan semua yang ada di dalamnya adalah secuil saksi bisu sejarah.
Cagar budaya yang tersebar di seluruh penjuru Aceh menanti kesadaran warga untuk menjaganya.