Laporan Wartawan Sriwijaya Post/Rahma Lia
TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG - Bicara tentang objek wisata bersejarah di Palembang, ada sebuah monumen yang wajib dikunjungi.
Namanya Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera), di Jalan Merdeka atau bersebelahan dengan Masjid Agung Palembang.
Di kalangan masyarakat Palembang, terutama yang mencintai sejarah, Monpera sangat penting artinya.
Sebab, selain bangunannya yang bagus, monumen ini juga menyimpan cerita tentang tragedi penting di masa silam.
Ini adalah contoh pakaian yang dikenakan pejuang Sumsel di masa lalu. (Sriwijaya Post/Rahma Lia)
Di kalangan masyarakat Palembang, tragedy itu dikenal dengan sebutan Perang Lima Hari Lima Malam.
Perang ini terjadi pada 1 Januari hingga 5 Januari 1947 dan merupakan perang tiga matra pertama kali yang terjadi di Indonesia, begitu pula pihak Belanda.
Peristiwa itu melibatkan banyak kekuatan, baik darat, laut, dan udara.
Pada saat itu, Belanda sangat berkepentingan untuk menguasai wilayah Palembang secara total karena Belanda menilai, wilayah Palembang mempunyai potensi yang menguntungkan dari aspek politik, ekonomi, dan militer.
Perang lima hari lima malam tersebut, memicu bangkitnya rasa nasionalisme masyarakat yang tidak mau Kota Palembang diambil Belanda.
Harga diri sebagai negara yang merdeka, membuat masyarakat khususnya di wilayah Sumsel, terus menggelorakan semboyan "merdeka atau mati" selama perang terjadi.
Foto-foto pejuang di masa lalu dipajang di dinding beberapa ruangan Monpera Palembang. (Sriwijaya Post/Rahma Lia)
Awal mula perang terjadi ketika pasukan sekutu masuk Kota Palembang pada 12 Oktober 1946 di bawah pimpinan Letnan Kolonel Carmichael.
Melihat adanya pasukan yang masuk ke wilayah RI khususnya di Palembang, membuat pemerintah memberikan izin untuk mendiami wilayah Talang Semut.
Namun tanpa diketahui pemerintah RI, ternyata Sekutu malah memperluas wilayah secara diam-diam dan melakukan penggeledahan yang tidak sah ke rumah penduduk untuk mencari senjata.
Hal inilah yang akhirnya menimbulkan insiden.
Sementara itu, jumlah pasukan sekutu semakin bertambah banyak, sehingga pada bulan Maret 1946 jumlah tentara sekutu mencapai sekitar dua batalyon.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan oleh pasukan sekutu, mereka juga secara diam-diam membantu pasukan Belanda untuk masuk ke wilayah Palembang.
Semakin lama jumlah pasukan Belanda semakin banyak.
Saat pasukan sekutu meninggalkan Kota Palembang pada Oktober 1946, mereka langsung menyerahkan kedudukan wilayah kepada Belanda.
Suasana Palembang semakin mencekam pada saat itu, banyak insiden bersenjata yang terjadi.
Ketika Belanda bersikeras untuk meminta Palembang di kosongkan, pemuda Palembang menolak dan akhirnya meletuslah perang tersebut.
Guna mengulur waktu, Belanda melakukan perundingan dengan pemuda Palembang.
Foto-foto pejuang di masa lalu dipajang di dinding beberapa ruangan Monpera Palembang. (Sriwijaya Post/Rahma Lia)
Selama perundingan berlangsung pada 1 Januari 1947, perang kembali pecah saat Belanda dengan menggunakan pesawat terbang, meluncurkan tembakan altilkeri, sementara dari sungai, Belanda menembakkan meriam-meriam dan senjata lainnya dari atas kapal.
Hanya dengan menggunakan senjata sederhana, serta memiliki tekat yang kuat untuk mengusir Belanda, pemuda Palembang memenangkan pertempuran tersebut.
Akibatnya, Belanda banyak mengalami kerugian, di antaranya stasiun radio Belanda yang berada di Talang Betutu hancur hingga tak bisa digunakan lagi, kapal-kapan milik belanda ditenggelamkan di Sungai Musi, serta tank-tank milik Belanda banyak yang rusak.
Setelah perang lima hari lima malam yang mengakibatkan banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak, pada 6 Januari 1947, akhirnya dicapai perjanjian untuk gencatan senjata antara Belanda dan Pemerintah RI di Palembang.
Semua gambaran rangkaian peristiwa tersebut, diabadikan di sebuah relief yang ada di Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera).
Monumen ini menjadi saksi bisu terjadinya perang lima hari lima malam.
Sejak diresmikan oleh Menko Kesra, Alamsyah Ratu Perwira Negara pada tanggal 23 Februari 1988, museum ini ramai dikunjungi sebagai salah satu objek wisata sejarah di Kota Palembang.
Bangunan Monpera Palembang tampak dari depan. (Sriwijaya Post/Sugih Mulyono)
Bangunan dengan lima lantai ini, terdapat empat unit lemari khusus digunakan sebagai tempat penyimpanan koleksi peninggalan sejarah.
Di lantai satu terdapat juga foto masa perjuangan enam tokoh perang kemerdekaan seperti AK Gani, M Isa, Haji Abdul Rozak, Mayjen TNI H Bambang Utoyo, Brigjen TNI H Hasan Kasim dan Kolonel H Barlian.
Sementara, di lantai dua disimpan 14 pucuk senjata di ruang khusus berdinding kaca.
Sebagian besar merupakan hasil rampasan perang zaman sebelum kemerdekaan.
Senjata yang disimpan seperti jenis pistol, senapan, kecepek, ranjau hingga alat pelontar bom yang sering digunakan pejuang tempo dulu.
Termasuk berbagai dokumen perang dan benda-benda bersejarah lainnya.
Untuk lantai ke tiga, terdapat enam replika tokoh pejuang yang berasal dari Sumsel, serta koleksi pakaian dinas baik sipil maupun militer yang digunakan saat itu.
Sedangkan lantai empat, lima, dan enam masih belum terisi oleh banyak koleksi.
Hal ini dikarenakan masih menunggu ahli waris dari para pejuang.
Foto-foto pejuang di masa lalu dipajang di dinding beberapa ruangan Monpera Palembang. (Sriwijaya Post/Rahma Lia)
Jika anda berkunjung ke Palembang, sempatkanlah mampir ke Monpera yang sangat mudah diakses menggunakan kendaraan umum maupun pribadi.
Lokasinya persis di seberang Masjid Agung Palembang dan tak jauh dari Jembatan Ampera.
Cukup membayar tiket sebesar Rp 2.000, anda bisa mengetahui lebih banyak sejarah di Palembang pada masa lampau.
Selama melakukan kunjungan, anda akan didampingi oleh guide serta bisa berfoto di lantai paling atas Monpera dan melihat pemandangan yang sangat cantik.
Monpera bisa dikunjungi setiap Senin-Jumat dan buka pukul 08.00-15.30.
Khusus Sabtu dan Minggu, Monpera buka pukul 08.00-16.00.