News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

kuliner

Gumarang, Lokasi Kuliner Favorit di Padang Panjang, Cobalah Ampiang Dadiah dan Teh Taluah di Sini

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Restoran Gumarang di Padang Panjang, tempat favorit para wisatawan melepas kerinduan terhadap makanan minang

TRIBUNNEWS.COM, PADANG PANJANG - Restoran Gumarang selalu menjadi tujuan utama warga Padang Panjang dan para pendatang.

Lokasinya di tengah-tengah pasar tradisional, membuatnya mudah dijangkau.

Sesungguhnya tujuan pertama-tama pengunjung bukan sekadar mencicipi menu-menu yang unik, tetapi sekaligus mengudap kenangan.

Di sini jejak-jejak Minang seperti mengkristal dalam mangkuk-mangkuk, wadah kudapan yang hampir selalu bergula dan bersantan.

Teh Taluah khas Minang. (kompas.com/David Aritonang)

Sebutlah menu paling favorit ampiang dadiah.

Ampiang tak lain adalah beras ketan merah yang dipipihkan, lalu dadiah berupa fermentasi susu kerbau menyerupai yogurt, yang disimpan dalam bumbung bambu.

Keduanya merupakan penganan khas daerah- daerah sekitar Padang Panjang, Bukittinggi, dan Tanah Datar.

”Tanpa mencicipi ampiang dadiah, belum ke Padang Panjang namanya,” tutur Tya Setiawati, pemukim asal Ciamis yang menetap di Padang Panjang sejak tahun 1999.

Ampiang dadiah disajikan dalam mangkuk dengan kuah santan dan gula merah.

Dadiah selalu dijadikan daya penarik dan oleh sebab itu selalu diletakkan pada bagian atas. Rasa dadiah tidak seasam yogurt.

Teksturnya yang lembut segera lumer kalau menyentuh lidah. Kecapan rasa asam yang samar segera ditimpa ampiang yang lembut.

Rasa itu kemudian diperkaya gula merah yang dicairkan. Ah, lengkap sudah, pagi jadi menyala....

Dadiah diproduksi di rumah-rumah penduduk, terutama mereka yang memelihara kerbau dan sapi perah.

Sejak dulu Padang Panjang dikenal sebagai daerah penghasil susu. ”Banyak yang bilang ini jejak masa kolonial yang tersisa,” kata Tya.

Sejarah

Restoran Gumarang didirikan oleh seorang veteran pejuang kemerdekaan bernama Muchtar Datuk Pisang tahun 1970.

Gumarang berarti kuda putih khas Minangkabau. Sejak awal berdiri, restoran ini sudah dipadati pelanggan.

Pertama-tama karena menunya seperti dalimo ketan dan kacang padi ketan.

Di sini juga ada teh taluah, minuman khas Minang yang katanya bisa membikin mata terus terang.

Amris (40), kasir sekaligus pramusaji Restoran Gumarang, menuturkan, restoran ini makin hari makin ramai terutama saat diramu menu baru tahun 1975, yakni ampiang dadiah.

Meski, kata Amris, ampiang dan dadiah sudah lama dikenal masyarakat Padang Panjang, tetapi disatukan dalam mangkuk oleh para peramu di Gumarang.
”Sekarang banyak yang jual ampiang dadiah di kaki lima,” kata Amris.

Dadiah diolah secara tradisional dengan menggunakan bumbung bambu sebagai wadah.

”Susu diletakkan di dalam bambu dan diembunkan selama dua malam. Kadang kami memakai susu kerbau, kadang sapi. Bambunya tidak boleh bekas, harus bambu baru,” kata Amris.

Dalam sehari, restoran ini bisa menghabiskan 60 mangkuk ampiang dadiah. Harganya relatif terjangkau, Rp 20.000 per porsi. ”Ini menu paling diburu di Gumarang,” tambah Amris.

Menu andalan lainnya adalah kampiun es.

Menu ini menyatukan pisang kolak, cendol, cenil, ketan, dan kacang hijau dalam satu mangkuk lalu disiram dengan santan manis.

Lebih nikmat lagi jika dicampur es batu.

Ada rasa manis yang harum karena santan dan kelembutan yang dibawa cenil dan ketan. Lalu tentu saja rasa kacang yang menawan dari kacang hijau.

Pelanggan bisa juga menikmatinya tanpa es mengingat Padang Panjang kerap diliputi kabut yang membawa hawa dingin.

Kata Amris, Restoran Gumarang bisa laris manis lantaran waktu masa awal berdiri belum banyak restoran.

Pemilik restoran kemudian membuka tempat baru, Rumah Makan Gumarang yang letaknya hanya dipisahkan oleh gang di dalam pasar.

Rumah makan ini tak ubahnya rumah makan padang pada umumnya. Menu utamanya rendang, gulai, dan makanan lain yang tentu bersantan.

”Jadi di sini tempat makannya, di sana tempat camilan,” kata Yuliani (37), kasir Rumah Makan Gumarang sambil menunjuk Restoran Gumarang.

Meskipun tak seramai tahun 1990-an, kata Amris, sampai sekarang jumlah pengunjung masih banyak, sekitar 1.000 orang per hari.

Jumlah itu meningkat dua sampai tiga kali lipat pada musim liburan atau Lebaran.

Puncak keramaian biasanya pada pagi dan siang hari.

Sebagai pendatang, Tya Setiawati hampir selalu mengajak para koleganya singgah di Gumarang.

Bahkan, dua kali dalam sebulan ia bersama Enrico, suaminya, secara khusus bersantai di restoran sederhana itu.

Gumarang boleh sederhana, kata Enrico, tetapi ia seperti simpul dari masyarakat Padang Panjang, yang ingin mengudap kenangan.

”Ya, karena di sini jejak-jejak Minang itu diwujudkan,” kata Enrico.

Dan, kapan pun kita rindu ranah Minang, Gumarang adalah teman akrab yang membuat kita merasa tenang untuk mencurahkan segala beban hati dan pikiran. (MOHAMMAD HILMI FAIQ/PUTU FAJAR ARCANA_

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini