Laporan Wartawan Serambi Indonesia/Nurul Hayati
TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Aroma lilin yang mengental kecokelatan di atas wajan meruap ke udara.
Kompor kompor dikelilingi gawangan, cantelan serupa persegi yang terbuat dari bilah-bilah bambu.
Sementara puluhan cap yang terbuat dari tembaga menukilkan aneka motif etnik Aceh berjejal rapi di atas rak.
Semua perkakas itu menghuni Rumah Batik Aceh, menanti tangan para pengrajin menorehkannya menjadi secarik batik.
Kain yang menjadi khazanah budaya Indonesia kini tampil dalam wajah berbeda.
Rupa-rupa corak batik mewakili ciri khas 33 provinsi yang mendiami gugusan kepulauan terbesar dunia bernama nusantara.
Pulau Jawa adalah cikal bakal asal muasal batik yang pengrajinnya membidani kelahiran ragam batik di seantero negeri.
Tak terkecuali di Aceh, kelahirannya tercatat pada 2008 dan telah menggeliatkan sektor ekonomi kreatif sekaligus membangkitkan kecintaan terhadap produk lokal.
Kini batik tak hanya dikenakan saat acara formal dengan kesan tua yang melekat padanya. Saatnya yang muda yang berbatik.
Dapur batik milik Dekranas Aceh, Jalan Banda Aceh Medan Km 4,5 Desa Meunasah Manyang, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. (Foto-foto Serambi Indonesia/Nurul Hayati)
“Batik Aceh mempunyai ciri-ciri berupa motifnya yang khas, strukturnya yang jarang, dan warnanya yang mencolok,” ujar Koordinator Pengrajin Rumah Batik Aceh, Aulia (50) tahun dalam logat Jawa yang terdengar samar.
Laki-laki yang akrab disapa Ool itu menuturkan, ketekunan dan kesabaran menjadi modal utama pengrajin batik.
Sebelum sampai ke tangan pembeli, kain batik telah melalui serangkaian tahapan mulai dari persiapan bakal kain dengan cara dicuci dan dikeringkan, dicap, pewarnaan (nembok), lorot (meluruhkan lilin pada kain), dan penjemurun.
Cetakan batik milik Dekranas Aceh, Jalan Banda Aceh Medan Km 4,5 Desa Meunasah Manyang, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar.
Para buruh itu pun terbagi sesuai tahapan menurut keahliannya masing-masing.
Mereka dibayar Rp 15.000–Rp 30.000 per kain, tergantung tingkat kesukaran.
Untuk bahan baku berupa kain dan pewarna didatangkan dari Pulau Jawa.
Kebijakan Pemerintah Aceh mewajibkan mengenakan batik etnik Aceh di kalangan PNS yang juga diikuti instansi swasta lainnya membuat usaha kreatif ini mengepakkan sayapnya dari hulu hingga ke hilir.
Namun Ool dan kawan-kawan tak hanya mengerjakan orderan pemerintah dan perusahaan swasta, lantaran adakalanya pesanan juga datang warga, semisal permintaan kain batik untuk seragam resepsi.
Jadi bagi anda yang kebetulan melancong ke ‘Tanah Rencong’, jangan ragu untuk bertandang ke rumah batik Aceh dan memesan batik khas daerah ini untuk ditenteng sebagai buah tangan.
Untuk harga terbilang bersahabat dengan kantong, yaitu berkisar antara Rp 300 untuk selembar kain berbahan katun berukuran 2,5 meter hingga Rp 950 ribu untuk setelan (atasan, bawahan, dan selendang).
Tatkala saya menyambangi dapur batik milik Dekranas Aceh Jalan Banda Aceh Medan Km 4,5 Desa Meunasah Manyang, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar suasana lengang membekap.
Rumah batik Aceh menempati posisi strategis di lintas jalan nasional di batas kota, hanya beberapa langkah dari kantor berita harian Serambi Indonesia.
Siang itu dua orang pengrajin sedang nembok (mewarnai batik).
Pintu khas Aceh menjadi motif yang menghiasi lembaran-lembaran kain berwarna dasar hitam dengan sentuhan kuning keemasan.
Di sudut lain seorang pengrajin lainnya yang juga koordinator asal Cirebon, Iwan (35) sedang melakukan pelorotan sebagai finishing.
Dapur batik Dekranas Aceh, Jalan Banda Aceh Medan Km 4,5 Desa Meunasah Manyang, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar.
Bagi kedua laki-laki asal Cirebon, Jawa Barat itu batik serupa nafas yang dihirupnya setiap hari.
Perkenalan Ool dengan batik sudah terjadi sejak ia melihat dunia.
Pria paruh baya ini mewarisi bakat membatik dari kedua orangtuanya yang juga buruh batik.
Belakangan karena ingin mengubah nasib, dirinya mencoba peruntungan dengan menerima tawaran dari pihak pemerintah Aceh menggembleng warga lokal untuk membatik.
Begitu juga halnya dengan Iwan yang juga berasal dari lumbung batik, Trusmi Cirebon.
Pasang surut usaha dan dinamika kehidupan anak manusia menyisakan 13 pengrajin dari total 30 pengrajin yang mulanya ditatar.
“Para buruh batik di sini kebanyakan sebelumnya adalah mereka yang bergelut dengan usaha keterampilan juga. Ada yang sudah mencapai kelas pengrajin ada yang masih sebatas buruh karena orientasinya ada yang untuk mencapai kepuasan atau hanya sekedar mendapat upah,” timpal Iwan sembari terkekeh.
Euforia batik telah mencapai puncak klimaksnya tatkala dikokohkan sebagai warisan budaya Indonesia oleh UNESCO pada 2009.
Kelegaan dan kebanggaan akan produk dalam negeri yang kemudian mendunia itu itu menyusup bersama rasa memiliki (sense of belonging) dari warganya.
Batik adalah ekspresi budaya sekaligus seni mahakarya Indonesia.
Dari Pulau Jawa ia terlahir, di seantero nusantara ia tumbuh dan berkembang.