Selain itu, terdapat perbedaan motif yang dipengaruhi asal daerahnya, seperti tapis pepadun, tapis peminggir, tapis liwa, dan tapis abung.
Motif pada tapis peminggir (pesisir) dominan mengangkat flora sementara motif tapis pepadun (pedalaman) cenderung sederhana dan kaku.
Kemudian ada lagi motif kapal, siger yang telah menjadi ciri khas hingga saat ini adalah produk asimilasi (percampuran) budaya yang sukses dilakukan di masyarakat.
Bagaimana animisme, dinamisme, hindu, budha hingga Islam memberikan kontribusi positif pada perkembangan motif tapis.
Koleksi kain tenun tapis di Ninda Art Shop, Jalan Jenderal Sudirman, Lampung (Tribun Lampung/ Okta Kusuma Jatha)
Perlu dicatat, proses pembuatan kain tapis tradisional terbilang rumit dan harus dikerjakan secara manual, sehingga pengerjaannya dapat memakan waktu berminggu-minggu.
Hal ini membuat kain tapis memiliki harga yang relatif mahal.
Kisaran harga kain tapis tradisional amat bervariasi, tergantung kerumitan motif, proporsi penggunaan benang emas, dan umur kain tersebut.
Kain tapis sulam produksi baru umumnya berkisar pada angka jutaan rupiah. Jika sudah berumur puluhan tahun, sehelai kain tapis dapat berusia ratusan juta rupiah dan menjadi benda koleksi.
Belum lagi jika berbicara batik dan sulam usus. Produk-produk tersebut kian berterima, desainer kian cerdas memadu madankan keragaman desain dengan olahan produk yang bisa digunakan keseharian.
Namun jika berbicara harga, maka hal ini sudah ranah yang berbeda. Sebab kita akan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Kain sebagai hasil seni, atau hanya produk masal yang bisa dinikmati masyarakat luas.
Jika berbicara produk seni, maka kita akan dengan rasional menerima harga mahal dari produk budaya itu, baik tapis, sulam usus atau batik Lampung.
Karena semuanya dikerjakan dengan hati yang memakan waktu lama. Beda dengan produk masal yang bisa kita temui di Bambu Kuning atau toko, harga yang murah dengan corak yang senada.
Namun dari kontroversi harga produk budaya tadi, lebih bijak kiranya jika menyikapinya secara positif. Mengapresiasinya, kemudian menggunakannya sebagai bentuk partisipasi kita melestarikan warisan leluhur yang adiluhung.
Sebuah karya Masterpiece