News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Wisata Lampung

Tapis, Kain Tenun Lampung Dengan Sulaman Emas, Inilah yang Membuat Harganya Jutaan Rupiah

Editor: Agung Budi Santoso
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Koleksi kain tenun tapis di Ninda Art Shop, Jalan Jenderal Sudirman, Lampung (Tribun Lampung/ Okta Kusuma Jatha)

Laporan Reporter Tribun Lampung, Heru Prasetyo

TRIBUNNEWS.COM, BANDAR LAMPUNG - Khasanah kain nusantara di Indonesia jelas amat kaya. Lampung pun boleh cukup berbangga karena memiliki tapis, sebuah kain tenun yang kemudian dipercantik dengan sulaman benang emas.

Sebuah produk budaya yang hanya dimiliki oleh Lampung.

Eksisnya tapis sebagai salah satu wastra milik Lampung, tidak boleh dilepaskan dari eksisnya budaya dan adat istiadat Lampung itu sendiri.

Memang benar, tapis di era modern kini dapat dijumpai dan dimiliki oleh masyarakat luas. Tersebarnya galeri dan toko oleh-oleh di Lampung yang sediakan tapis pun kian memasyarakatkan kain tersebut.


Harga kain tenun tapis Lampung bervariasi, tergantung ukuran, tingkat kesulitan pembuatan dan faktor usia. (Tribun Lampung/ Okta Kusuma Jatha)

Benar adanya jika kerajinan tapis pada zaman dulu lebih sebagai kebutuhan sosial sekelompok masyarakat pendukungnya untuk memenuhi kepentingan adat istiadat.

Misalnya untuk keperluan pemberian gelar adat, penyambutan tamu penting, upacara perkawinan, upacara adat mengangkat saudara (muari), dan lain-lain

Misal saja salah satu tradisi yang bisa diambil contoh dan menghidupi tapis di masyarakat adalah tradisi sesan di acara pernikahan Lampung.

Tapis selalu menjadi bagian dari barang serah-serahan yang dibawa calon mempelai.

Dimana disitu memiliki makna, "Ini aku titipkan warisan ini padamu untuk kau jaga dan lestarikan". Secara tidak langsung, dari generasi ke generasi tapis telah mendarah daging melalui tradisi tadi.

Jika membandingkan tapis dengan wastra nusantara lain pun, kita akan memiliki kebanggan tersendiri. Dari segi motif, warna, desain dan filosofi, kain tapis memiliki ciri khas tiada duanya.


Perajin sedang menyulam kain tenun tapis di Sam Bordir, Jalan Imam Bonjol, Bandar Lampung (Tribun Lampung/ Okta Kusuma Jatha)

Itu yang kemudian membuat banyak desainer terinspirasi untuk mengadaptasi tapis kedalam rancangan busana mereka.

Tengok bagaimana motif tapis Lampung. Ragam flora dan fauna seperti gajah, tumbuh-tumbuhan menghiasi desain tapis. Ada pula kain tertentu yang mengangkat kehidupan rumah tangga seperti pada kain tapis cucuk andak.

Selain itu, terdapat perbedaan motif yang dipengaruhi asal daerahnya, seperti tapis pepadun, tapis peminggir, tapis liwa, dan tapis abung.

Motif pada tapis peminggir (pesisir) dominan mengangkat flora sementara motif tapis pepadun (pedalaman) cenderung sederhana dan kaku.

Kemudian ada lagi motif kapal, siger yang telah menjadi ciri khas hingga saat ini adalah produk asimilasi (percampuran) budaya yang sukses dilakukan di masyarakat.

Bagaimana animisme, dinamisme, hindu, budha hingga Islam memberikan kontribusi positif pada perkembangan motif tapis.


Koleksi kain tenun tapis di Ninda Art Shop, Jalan Jenderal Sudirman, Lampung (Tribun Lampung/ Okta Kusuma Jatha)

Perlu dicatat, proses pembuatan kain tapis tradisional terbilang rumit dan harus dikerjakan secara manual, sehingga pengerjaannya dapat memakan waktu berminggu-minggu.

Hal ini membuat kain tapis memiliki harga yang relatif mahal.

Kisaran harga kain tapis tradisional amat bervariasi, tergantung kerumitan motif, proporsi penggunaan benang emas, dan umur kain tersebut.

Kain tapis sulam produksi baru umumnya berkisar pada angka jutaan rupiah. Jika sudah berumur puluhan tahun, sehelai kain tapis dapat berusia ratusan juta rupiah dan menjadi benda koleksi.

Belum lagi jika berbicara batik dan sulam usus. Produk-produk tersebut kian berterima, desainer kian cerdas memadu madankan keragaman desain dengan olahan produk yang bisa digunakan keseharian.

Namun jika berbicara harga, maka hal ini sudah ranah yang berbeda. Sebab kita akan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Kain sebagai hasil seni, atau hanya produk masal yang bisa dinikmati masyarakat luas.

Jika berbicara produk seni, maka kita akan dengan rasional menerima harga mahal dari produk budaya itu, baik tapis, sulam usus atau batik Lampung.

Karena semuanya dikerjakan dengan hati yang memakan waktu lama. Beda dengan produk masal yang bisa kita temui di Bambu Kuning atau toko, harga yang murah dengan corak yang senada.

Namun dari kontroversi harga produk budaya tadi, lebih bijak kiranya jika menyikapinya secara positif. Mengapresiasinya, kemudian menggunakannya sebagai bentuk partisipasi kita melestarikan warisan leluhur yang adiluhung.

Sebuah karya Masterpiece

Berkembangnya dunia fesyen dan kebutuhan masyarakat modern akan produk tersebut, membuat kain nusantara kian menonjol.

Perlahan namun pasti, khasanah nusantara tersebut dapat dinikmati oleh masyrakat dalam banyak produk dan dipakai dalam berbagai kesempatan.

Kain tapis, sulam usus dan batik Lampung yang merupakan tiga dari wastra andalan Lampung pun kini bertransformasi dalam aneka bentuk produk fesyen.

Ia bukan lagi produk yang eksklusif di beberapa kalangan. Tidak lagi hanya sebagai pelengkap dalam kegiatan ritual adat Lampung.

Lebih dari itu, ketiganya kini bisa digunakan oleh siapa saja lepas dari latarbelakang budaya dan tradisi tentunya.

"Belakangan, beberapa dekade memang seperti tapis sudah kian dapat dijangkau. Dalam artian, penggunaannya kian meluas. Ia telah melewati sekat budaya," ungkap perajin, pengamat, dan peneliti Tapis Lampung Raswan Tapis. "Tapis pun sudah berubah ke berbagai macam bentuk produk fesyen," lanjut dia.


Harga kain tenun tapis Lampung bervariasi, tergantung ukuran, tingkat kesulitan pembuatan dan faktor usia. (Tribun Lampung/ Okta Kusuma Jatha)

Raswan juga mengaku bangga ketika tapis banyak dijadikan referensi oleh kalangan desainer. Menurutnya itu menjadi sebuah terobosan besar, karena tapis secara tidak langsung diakui nilai estetiknya.

Jelas tidak mungkin tapis dijadikan referensi, jikalau tapis tidak memiliki nilai istimewa dan keindahan nyata di dalamnya.

"Nilai estetik tapis itu real. Dia dikerjakan dengan penuh kesungguhan hati. Kalau kain lain hanya ditenun. Tapis dikerjakan double, ditenun iya, disulam juga iya. Jika orang yang paham arti seni, tapis adalah masterpiece," ungkap dia.

Maka jangan heran bila kolektor amat memburunya untuk dijadikan koleksi tiada ternilai harganya.

Tapis sudah milik internasional, Amerika, Jepang, Belanda adalah beberapa negara yang kerap warga negaranya menjadikan tapis sebagai buruan. Diburu untuk koleksi, diburu untuk diteliti.

"Apapun itu, masyarakat harus bangga akan capaian tapis. Bukan hanya tapis, sulam usus dan kain batik juga. Kalau masyarakat dunia saja respect, kenapa orang kita malah tidak. Itu kan aneh," sesal dia.

Kini, lanjut Raswan, adalah tugas pemerintah untuk menjaga kelestarian kain nusantara kita dengan menjaga eksistensi kampung-kampung penghasil kain tadi.

Tidak berhenti disitu, sambung dia, pemerintah juga harus membuat regulasi yang dapat mengatur hasil seni produk kain Lampung dan produk masalnya.

"Di Lampung saat ini kan masalah ini belum terselesaikan. Mana produk seni dan masal belum dipahami masyarakat. Kalau ada orang kaget dengan harga kain satu jutaan dan pingin yang 150-an ribu, ini karena hasil seninya belum dilihat," tutur Raswan yang mengatakan wajar jika perbedaan harga tapis mulai dari Rp 250.000 hingga jutaan rupiah.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini