Pada pertengahan perjalanan, kami berkesempatan singgah di gerai penjualan aneka makanan dan minuman cokelat Koko Black yang lantai duanya digunakan untuk tempat menikmati sajian mereka.
Secangkir minuman cokelat panas yang bahannya didatangkan dari Belgia wajib dinikmati di tempat ini sembari melepas lelah.
Dari gedung megah yang telah berusia lebih dari seabad itu kami terus melangkahkan kaki menuju gang buntu yang memiliki kejutan di ujungnya.
Kejutan itu bernama Bar Americano yang merupakan sebuah bar dengan kapasitas maksimal 10 orang tamu.
Tempat nongkrong tersebut sejak awal mulai tetap mempertahankan peraturan larangan memotret ruangan interiornya untuk menjaga keunikan tempat tersebut.
Mendekati dua pertiga perjalanan tur, kami diajak memasuki gedung Nicholas yang dulunya merupakan bangunan kantor pos.
Kini, bangunan tersebut digunakan untuk berbagai tempat usaha yang menarik dikunjungi karena bermacam infrastruktur bekas kantor pos yang telah berusia tua itu masih bisa dijumpai dan digunakan.
Di lantai satu gedung karya arsitek Harry Norris yang selesai dibangun pada tahun 1926 tersebut, pengunjung dapat menaiki eskalator yang pertama dipasang di kota itu.
Sebagian dari lantai dua gedung itu digunakan untuk tempat merancang baju kimono serta tempat penjualan barang antik yang dilengkapi dengan usaha jasa meramal nasib dengan melalui pembacaan garis tangan, kartu tarot, ataupun bola kristal.
Untuk menuju lantai dua, pengunjung dapat menggunakan lift tua yang berada dalam semacam kerangkeng besi yang bunyinya bergemeretak ketika digunakan.
Hal itu menambah kentalnya suasana klasik di kawasan kota tua di Melbourne itu.
Saat ini terdapat sedikitnya 7.000 bangunan tua yang dilindungi oleh pemerintah setempat.
Pemerintah setempat mendukung penuh pelestarian bangunan cagar budaya di Melbourne karena dianggap mampu merefleksikan budaya masyarakat setempat pada masa lampau yang membentuk lanskap kota itu.