Menurun dari puncak daratan, terdapat tugu nol kilometer yang menjadi batas teritorial darat Indonesia.
Namun untuk bermalam, kata Subur, memilih tidur di teras rumah dengan memakai sleeping bag.
Pertimbangannya mengingat hawa panas yang membekap Pulau Rondo serta aman dari belitan ular yang kerab menyambangi.
Telah sekian lama ular jenis piton menjadi teman bagi puluhan anggota pasukan pengamanan pulau terluar di tempat itu.
Pergantian pasukan biasanya dilakukan setiap 3–9 bulan sekali yang terdiri dari 24 marinir dan 10 rider.
“Pasukan yang bertugas telah menerima pesan dari pasukan sebelumnya agar tak mengganggu ular-ular itu. Biasanya jika kita melihat banyak tikus di sekeliling kita itu tandanya di sekitar situ ada ular,” ujar Subur.
Pulau Rondo tak ubahnya ‘pulau mati’.
Mereka yang berdiam di dalamnya bergelut dengan bagaimana cara untuk bertahan hidup, bersahabat dengan alam yang melingkupinya.
Permasalahan terbesar adalah ketiadaan air bersih sehingga harus dipasok dari Pulau Weh, Sabang.
Jika pasokan tidak datang setiap bulannya seperti yang dijadwalkan, maka pasukan di tapal batas itu menampung air hujan.
Keterbatasan air memaksa mereka menggunakan dengan bijak sehingga hanya diperuntukkan khusus untuk minum dan wudu.
Sedangkan untuk mandi dan mencuci harus menuruni 500 anak tangga menuju laut.
Bisa dibayangkan usai mandi air laut, tubuh akan mandi keringat menapaki 500 anak tangga kembali ke markas.
“Pengalaman tak terlupakan adalah ketika urusan BAB dan mandi saja harus ke laut. Makan nasi pakai alas daun pisang dan beli sebungkus rokok seharga Rp 50.000 sama navigator,” ujar Subur sambil terkekeh.