"Wajar akhirnya bila warga sekitar memanfaatkan areal yang ada untuk beraktifitas, dengan catatan seperti yang saya katakan sebelumnya. Lagipula, mereka hanya bermain di parkiran. Karena areal lapangan dalam benar-benar terlarang, maka dari itu gerbang utama yang ada selalu tertutup," urai Kito yang sehari-harinya juga berprofesi sebagai pengajar mengaji.
Selain aktivitas anak muda bermain bola setiap harinya, berdasarkan penelusuran Tribun, praktis tidak ada aktifitas yang cukup berarti dari pemakaman yang didirikan sejak 1948 oleh Presiden Soekarno ini.
Hanya Sukito, beserta ketiga rekan seprofesi sajalah yang tiap hari dengan setia merawat areal seluas dua hektar tersebut.
"Dari keempat penjaga, hanya saya yang tinggal di areal pemakaman ini. Ketiga lainnya ya pulang pergi setiap hari untuk menjalani rutinitas membersihkan pemakaman seperti membersihkan rumput atau sekedar menyapu dan membersihkan lingkungan sekitar," urai suami dari Legiyem ini.
Sejalan dengan tugasnya sebagai perawat dan penjaga makam, Sukito pun mau tidak mau harus memiliki pengetahuan yang cukup mumpuni tentang sejarah Lampung.
Minimal pengetahuan mengenai siapa saja yang dikebumikan.
"Karena selain pemakaman, areal ini juga kan berfungsi sebagai wisata sejarah. Dan di luar tugas saya tadi, saya harus mampu menjadi tour guide pengunjung," ujarnya.
Maka secara khusus ia berpesan kepada semua pihak, agar dapat menjaga, merawat lingkungan sekitar.
Hal ini dilakukan selain untuk menjaga keindahan lingkungan, juga dapat menjadi tempat menarik untuk mempelajari sejarah masa lalu daerah ini.
Jadi Areal Bermain
Minimnya ruang terbuka hijau atau lapangan di Bandar Lampung, membuat remaja dan anak-anak di Kota ini kehilangan tempat bermain.
Maka tidak heran bila akhirnya lapangan parkir di Areal Taman Makam Pahlawan Tanjungkarang pun, saban sore hari disulap menjadi lapangan bermain sepakbola.
Mereka merupakan anak-anak yang berasal dari lingkungan Kelurahan Surabaya dan sekitar lokasi Makam Pahlawan.