Laporan Wartawan Tribun Jogja, Hamim Thohari
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Masjid Perak merupakan salah satu masjid tertua di kawasan Kotagede selain Masjid Gedhe Mataram Kotagede.
Masjid Perak terletak di Jalan Mandarakan No 51 Kampung Trunojayan, Kelurahan Prenggan, Kecamatan Kotagede, Yogyakarta.
Nama Perak diberikan karena saat pembangunan masjid tersebut industri perak Kotagede sedang dalam puncak kejayaan, selain itu dana pembangunan Masjid Perak berasal dari sumbangan para saudagar perak Kotagede.
Masjid ini dulu dibangun dengan bantuan sejumlah saudagar perak di Kotagede. (Tribun Jogja/Hamim)
Dijelaskan Kamali Anwar selaku ketua takmir masjid Perak Kotagede, berdirinya Masjid Perak tidak lepas dari semakin pesatnya perkembangan agama Islam di kawasan Kotagede.
Saat itu Masjid Gedhe Kotagede tidak mampu lagi menampung jumlah jamaah yang semakin banyak.
Pengelolaan masjid yang berada di bawah Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Solo atas Masjid Gedhe juga sering menimbulkan berbagai kesulitan, terutama perizinan jika akan menggunakan masjid tersebut.
“Munculnya gerakan reformasi Muhammadiyah pada masa itu juga menjadi salah satu hal yang melatar belakangi didirikanya masjid Perak Kotagede. Masih bercampurnya tradisi dengan peribadatan Islam membuat banyak orang merasa kurang nyaman beribadah di Masjid Gedhe,” terang Kamali Anwar.
Pendirian Masjid Perak dipelopori oleh Kyai Haji Amir, Haji Mashudi, dan Haji Mudzakir. Proses pembangunan dilakukan pada tahun 1938-1939, dan mulai digunakan pada tahun 1940.
Bangunan utama Masjid Perak berbentuk bujur sangkar dengan luas 100 meter persegi, bagian atap berbentuk joglo dengan 4 tiang penyangga (soko guru) besar berbentuk bulat.
Atap ini dilapisi dengan plat perak bertuliskan tanggal dan tahun berdirinya. Sedangkan atap serambi masjid berbentuk limasan.
Mimbar utama Masjid Perak yang hingga kini masih digunakan sendiri sudah ada lebih dahulu sebelum masjid dibangun.
Mulanya mimbar ini untuk digunakan di Masjid Gedhe Mataram Kotagede pada pelaksanaan ibadah shalat Jumat.
Dijelaskan oleh Kamali Anwar, pada saat itu khutbah Jumat di Masjid Besar Mataram disampaikan dalam bahasa arab, dengan materi yang seperti sudah dibukukan dan dibacakan berulang-ulang.
Akibatnya, banyak pihak merasa khotbah Jumat ini tidak membawa kemajuan bagi umat saat itu, selain itu khatib berada di mimbar yang ditutupi kain putih sehingga tidak terdengar oleh jama'ah yang berada di luar Masjid.
Untuk itu beberapa tokoh Muhammadiyah mengusulkan agar mimbar dipindah lebih ke tengah dekat dengan serambi masjid, dan dibuatlah mimbar tersebut.
Belakangan hal ini ditentang oleh abdi dalem, sehingga kemudian mimbar ini dipindahkan ke Masjid Perak.
Masjid Perak Kotagede mengalami renovasi total setelah musibah gempa bumi yang melanda Yogyakarta 2006.
Pada saat itu masjid mengalami kerusakan walaupun tidak sampai roboh tetapi mengalami kerusakan yang cukup parah.
Dengan pertimbangan untuk memperbaiki konstruksi bangunan agar lebih aman dan tahan gempa sekaligus menambahkan beberapa fasilitas baru untuk mendukung fungsi masjid, maka masjid tersebut direnovasi total.
“Pada tahun 2009 masjid ini dirobohkan dan dibangun ulang. Walaupun dibangun ulang bangunan baru Masjid Perak masih mempertahankan beberapa ciri khas lamanya, diantaranya adalah ruang tengah dan serambi depan hingga kuncung masjid masih seperti aslinya, penggunaan tiang soko guru lengkap dengan plakat bertuliskan tahun berdiri, serta mimbar utama yang masih tetap digunakan hingga kini,” terang Kamali Anwar.(*)